Dua empat

955 97 15
                                    

Dewa Adiwinandra berbaring di atas ranjang sembari menatap punggung sang istri yang tengah sibuk mengoleskan beberapa krim anti-penuaan ke wajahnya. Seperti menyadari tatapan sang suami, Irida balas menatap suaminya melalui cermin meja rias besar di hadapannya.

“Kenapa, sih?” tanya Irida.

“Kenapa apanya?” tanya Dewa.

“Enggak usah pura-pura enggak ngerti, deh,” ujar Irida, “aku tuh paham banget ya kalau kamu lagi ngelihatin aku kayak gitu artinya kamu lagi punya masalah tapi bingung mau mulai cerita dari mana.”

Dewa terkekeh, “Kamu paham banget.”

“Aku ini udah berpuluh-puluh tahun jadi istrimu.”

Dewa mengangguk, pria itu mengubah posisi jadi menjadi duduk di tepi ranjang.

“Bun, anak kita lagi sedih,” ujar Dewa.

Mendengar suaminya membahas tentang sang anak semata wayang, Irida segera meletakkan wadah krim ke atas meja rias kemudian membalik posisi duduknya menghadap sang suami.

“Sedih kenapa?” tanya Irida.

“Karena pertunangan Keenan sama Adelle.”

Irida mengerutkan dahi, “Loh kenapa sedih? Harusnya ‘kan dia senang karena dua sahabatnya bertunangan.”

“Masalahnya Amasha itu naksir Keenan.”

“Hah?”

“Kamu kaget, ‘kan? Sama, aku juga! Aku kaget banget anakku naksir Keenan.”

“Bukan,” sahut Irida, “aku bukan kaget karena Amasha naksir Keenan, tapi kaget karena kamu bisa mengatakan itu dengan nada santai kayak sekarang. Biasanya kamu posesif banget tuh kalau ada cowok yang berurusan sama Amasha.”

Dewa menghela napas, “Belakangan ini aku mulai sadar dan menerima kalau anakku sudah besar.”

Irida mendecih, “Seharusnya dari dulu sih kamu sadarnya.”

Dewa cemberut mendengar ucapan sang istri.

“Terus kamu mau gimana?” tanya Irida.

Dewa mengedikkan bahu, “Aku enggak tahu harus gimana. Aku tahu Keenan suka sama Amasha tapi dia enggak bisa menolak perintah Chandra. Aku yakin Chandra menjodohkan Keenan supaya Keenan itu bisa menggantikan posisi Ryu.”

“Jadi maksudmu Chandra mau menggunakan Keenan untuk menguasai Albara Group?”

“Istilah kasarnya sih begitu,” sahut Dewa.

Irida menghela napas, “Kasihan Keenan.”

“Apa yang harus kulakukan supaya anakku enggak sedih lagi?”

“Apa lagi? Kenapa masih nanya ke aku? Kamu tahu persis apa yang harus kamu lakukan.”

Dewa menatap Irida, “Haruskah?”

Irida mengedikkan bahu, “Pilih sendiri mana yang lebih penting bagimu. Hartamu atau kebahagiaan Amasha.”

Dewa cemberut, pria itu mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Sementara sang istri menatap suaminya sembari terkekeh. Dewa yang selalu terlihat misterius, dingin dan tegas di hadapan semua orang, bisa terlihat sangat frustasi dan kesal begini di hadapannya.

***** 

Dewa Adiwinandra mendatangi kediaman Ainesh Albara seorang diri. Ayah satu anak itu disambut oleh Chrisstall Albara yang tersenyum cerah sembari membukakan pintu rumah lebar-lebar, mempersilahkan Dewa untuk masuk.

Amasha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang