Dua satu

666 75 14
                                    

Kediaman Ainesh Albara, tempat di mana Ainesh Albara bersama istri dan satu putrinya, Chriss Albara tinggal tiba-tiba kedatangan tamu spesial. Chandra Dinata, pemimpin Dinata Company melakukan kunjungan ke rumah sahabat lamanya, Ainesh. Di tengah kesibukan, ayah dua anak itu menyempatkan diri mengunjungi Ainesh untuk memeriksa kondisi sang sahabat pasca gemparnya kasus yang melibatkan penerus utama Albara Group, Ryu Albara.

“Gimana kabar lo, Bang?” tanya Chandra kepada Ainesh yang saat ini tengah duduk berhadapan dengannya di ruang tamu rumah megah Albara.

Ainesh terkekeh, “Bukannya seharusnya gue yang nanya kabar lo?”

Chandra mengangguk setuju, “Benar juga. Kabar lo udah jelas enggak baik.”

“Udah tua tapi gaya bicara lo tetap enggak berubah.”

“Lo juga, Bang,” sahut Chandra.

“Benar, kita enggak banyak berubah. Cuma kesialan yang terus menghampiri gue, dan kebahagiaan yang terus menghampiri lo. Gimana bisa lo punya dua anak yang membanggakan banget begitu? Sementara anak-anak gue cuma bisa bikin gue pusing.”

“Ini enggak seperti lo, Bang! Seelumnya lo enggak pernah mengeluhkan anak-anak lo.”

Ainesh mengangguk membenarkan, “Iya. Ini memang bukan gue. gue cuma lagi terlalu pusing sampai berpikir kayak gini.”

“Apa jalan lo sebuntu itu?”

“Jauh lebih buntu dari apa yang lo pikirkan. Gue stress mikirin para pemegang saham yang setiap hari menuntut pelengseran gue dari jabatan komisaris kalau gue enggak segera mengisi posisi Ryu yang saat ini kosong.”

Chandra tersenyum samar, pria paruh baya itu memperhatikan sahabat lamanya yang terlihat kalut. Ini jelas bukan karakter asli dari Ainesh yang dulu dia kenal. Padahal ini bukan pertama kalinya Ainesh mengalami krisis dalam hidupnya, namun sepertinya krisis kali ini benar-benar mengguncang kestabilan emosi Ainesh. Chandra bisa memahaminya, kehilangan penerus utama tentu bukan sesuatu yang mudah diterima akal sehat seorang pebisnis seperti mereka. Pasalnya masa depan sebuah perusahaan sedang dipertaruhkan. Ryu Albara adalah satu-satunya penerus yang sudah dipersiapkan oleh Ainesh, pria itu tidak pernah berpikir menyiapkan kandidat pengganti karena mengira segalanya akan berjalan seperti seharusnya. Sayang, satu-satunya yang dia harapkan bisa meneruskan nama besar Albara jusru melemparkan kotoran ke wajahnya, mencoreng nama baik Albara tanpa ampun.

“Bang,” panggil Chandra.

Ainesh menatap Chandra dengan tatapan bertanya.

“Gue datang ke sini sebagai sahabat lo. Tapi kalau memang terpaksa, gue bisa mendadak berubah jadi pebisnis.”

Ainesh mengerutkan dahi saat mendengar kalimat ambigu dari Chandra, “Maksud lo?”

Chandra tersenyum lagi, “Gue bisa menjadi pebisnis yang menawarkan win-win solution buat masalah lo.”

“Lo ngomong apa, sih? Gue enggak ngerti.”

Chandra menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan maksudnya, “Yang Albara Group butuhkan saat ini bukan semata-mata pengganti untuk posisi penerus, tapi citra baru perusahaan. Lo harus membuat citra baik yang baru bagi Albara Group untuk meyakinkan para pemegang saham bahwa perusahaan lo enggak akan pernah bangkrut. Lo harus membuat citra bahwa Albara Group sudah melewati masa kritisnya dan akan memiliki masa depan yang semakin cerah,”

“Gue masih enggak ngerti!”

“Masa’ harus gue jelasin secara langsung, Bang? Gue mau mengajak lo bergandengan. Nama besar Dinata Company cukup untuk memulihkan nama Albara, kalau publik tahu bahwa Dinata dan Albara berpartner, maka nama Albara akan pulih dan para pemegang saham enggak akan menuntut pergantian komisaris. Dengan begitu, lo enggak akan kehilangan Albara Group.”

Amasha (END)Where stories live. Discover now