🌝Bulan

130 12 0
                                    

Jendela kamar tertutup, tetapi pantulan cahaya menembus hingga ke dalam hati, begitu redup. Seredup lampu di pinggir jalan setapak tanpa penghuni. Angin berbicara pada ranting, gelagatnya penuh kekhawatiran.

Cahaya bulan itu seolah mencecarku dengan tanya mengapa aku memilih untuk duduk bersandar menatap layar selebar 14 inchi dan 6,6 inchi bergantian. Tanpa ketegasan, apakah harus kulipat, atau kusembunyikan? Wahai utusan langit malam, bukan aku mengolok betapa sayu kamu. Butuh sepuluh hari lagi bulatanmu sempurna. Kamu tidak tahu? Kepalaku sakit, mataku lelah, dadaku sesak, dan aku benar-benar nyaris kehilangan napasku seandainya tidak segera kuhentikan hujan yang turun tanpa perkiraan cuaca.

Setengah revolusi lagi, perhitungan sempurna tiga dekade. Mawar hitam yang kugenggam sejak kecil, juga sempurna mengutipkan luka. Luka yang aku suka. Luka yang tak akan kutangisi sebagai penyesalan. Aku bahagia?

Setidaknya, aku bisa mencoba menanam satu pohon yang rimbun. Meskipun pohon itu tumbuh tanpa kupinta, aku merawatnya.

"Pohon itu bukan milikmu, Nona." Suara yang begitu kuapresiasi sejak tanya paling berharga berhasil mencuri atensi.

Aku mengangguk mengerti, "Aku tak akan meminta apa pun. Aku tidak akan menyesali."

Aku tidak pernah berjanji untuk tidak terluka. Aku hanya berjanji akan ikut tersenyum dan berlapang dada jika pemilik suara itu kelak hidup bahagia. Kuberikan pohon itu, pada yang berhak menerima. Kuberikan, seakar-akarnya!

"Aku bukan pencuri!" Lihatlah, anak kecil di dalam kepalaku berlari menghindari kejaran raksasa buas yang siap menerkam seraya mengatakan gugatan.

"Kembalikan milikku!"

"Aku bukan pencuri ...."

Anak itu berlari sekuat tenaga. Memilih untuk jatuh ke dalam jurang yang gelap dan dalam. Tubuhnya yang menghantam dasar lembah, kini terkulai lemah di antara akar-akar berlumut dan licin.

"Aku hanya berusaha untuk melindungi ini." Anak kecil itu membuka telapak tangannya. Mendedahkan ke arah langit, menunjuk bulan yang menyinari kesendiriannya.

"Tapi aku harus pergi, Anak kecil." Bulan melambai.

Anak kecil tertawa nyaring, "Bersinarlah selama tugasmu belum berakhir."

"Tentu saja!" Bulan meninggi. Jaraknya menjauh. Bagai mimpi buruk, bulan retak, berteriak, lalu pecah. Bersamaan dengan tawa anak kecil yang kini berubah lolongan tangis.

Serpihan bulan jatuh, tajam menghunjam anak kecil itu. Memunculkan dentuman keras, menyentakkan tubuhku dari lapisan lantai nan dingin. Menyadarkan keberadaanku yang tanpa sengaja tertidur. Aku mengusap wajah. Ada jejak mengering di sana. Mengintip bulan yang hilang tertutup awan hitam.

🌝CU
5 Jumadil Akhir 1445/18-12-2023

Semesta KitaWhere stories live. Discover now