🌳Pohon

15 5 1
                                    

Usai bersusah payah aku membebaskan diri dari lumpur, badanku terhempas di tanah yang keras. Namun, tanah itu diselimuti oleh rumput yang ditumbuhi bunga baby blue. Rasa lelahku pun terobati. Sama seperti ketika kuterima kabar darimu, setelah aku bergelut dengan rasa khawatir. Takut dirimu kenapa-kenapa. Pesanmu seperti kemunculan bunga di tengah hamparan kegersangan hati.

Mendadak aku dikagetkan dengan jatuhnya buah di kepalaku, membuatku mengaduh.

Mengapa menghilang?
Aku memberanikan diri untuk bertanya.

Mengapa harus merasa kehilangan? Terserah maumu saja. Bukankah keinginanmu menghilang dan mati?

Tubuhku melemas. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tak tahu. Aku bahkan tak berani untuk memberi alasan apa pun. Aku gentar jika kamu muak dengan jawaban yang kuberikan.

Tak tahukah kamu? Bahwa kamu telah menjadi hal penting dalam kepingan hidupku.

Aku memungut buah yang baru saja menjatuhi kepalaku itu. Warnanya tak lagi hijau, siap ranum. Buah itu jatuh dari pohon yang kini sedang menaungiku. Lebat dan subur.

Pohon ini sepertimu, meneduhkan. Meski sesekali kamu memberikanku hukuman. Menjatuhkan buah salah satunya. Namun, bagiku kamu tetap serindang itu. Menarik untuk dikunjungi para paksi, juga sesiapa yang merindukan naungan.

Akar yang kokoh, umpama kegigihan dan kinerjamu yang tak kenal lelah mengangkut unsur hara. Menyebarkan ke seluruh bagian hingga tak ada yang merasa kekeringan. Kekuatanmu mampu melawan ancaman dari kebuasan alam. Sehingga tetap tegar berdiri tanpa mengenal kata tumbang.

Batang yang perkasa, seperti penopang dari kelemahan. Terkadang, rasa lelahmu membuatmu letih. Bukanlah karena rapuh. Meskipun sosok-sosok jahat kerap menggergaji paksa. Kamu tetap bertahan. Membungkus kembali luka-luka dan melanjutkan hidup.

Cabang dan rantingmu rimbun, menumbuhkan daun, bunga, dan buah. Tak lekang oleh musim. Tiada gugur, setia menjadi tempat bersemi. Seperti inginku yang tumbuh di setiap buku-buku kehidupanmu. Sayangnya, aku mungkin harus sadar diri. Suatu saat aku hanya akan membuatmu terbebani. Jika kamu lelah dengan pengkhianatan yang membuatmu mengering dan patah, lepaskan. Aku bersedia membakarnya menjadi abu.

Kamu adalah daun menghijau. Mengubah CO²-ku yang serupa racun dan menukarnya menjadi oksigen, membuatku menjadi lebih berharga. Kamu memiliki kreativitas, mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain. Tak sepatutnya kamu khawatir tentang kemampuanmu hidup mandiri. Transpirasi seolah abai dengan pengaruh ujaran dan perlakuan buruk orang lain.

Jika tak juga ujaran dan perlakuan burukku kamu terima, kita akan sama-sama tenang, bukan? Semestinya aku berterima kasih, ingatanmu tentang kesalahanku membuatku pelan-pelan sadar. Tidak semua yang kuucap dan kulakukan adalah benar.

Sehelai daun jatuh. Katanya, di sidratul muntaha ada daun bidara yang bertuliskan nama kita. Meski aku salah telah menyematkan kata-kata zalim yang membuatmu marah. Sejujurnya, aku takut mengulangi kata-kata itu lagi. Aku ingin hidup bersamamu dengan nama yang terukir dalam satu lembaran daun bidara yang sama.

Aku meraih daun yang mengering itu. Mengukir satu nama dengan tinta hati. Menyimpannya menjadi herbarium memori.

Kamu penting bagiku.

Agaknya butuh waktu lama lagi kamu membacanya. Atau mungkin saja kamu menganggapnya sebatas canda?

Tiba-tiba, bunga yang tumbuh karena kehadiranmu kuncup kembali. Tak apa jika ia tak layu.

Indah, bukan? Bunga yang menjadi selera kita bersama. Walau bunga yang kamu tumbuhkan memberikan kesan kemewahan. Sementara bunga yang mampu membuatku tertawan cukup sebatas bunga-bunga di tepian jalan. Itu sama-sama bunga. Aku suka bunga, sejak dulu. Namun, sejak kehadiranmu, bunga itu berbeda makna. Bukan aku manusia tak normal yang nyaris tak pernah percaya jatuh hati itu semudah mempertemukan dua bougenville berbeda warna. Lalu merelakan kemustahilan pertemuan mawar dan melati dalam satu tangkai.

Akankah pohon kita berbuah manis?
Bagaimana ini? Pohon itu telah tumbuh subur di lahan asing. Aku tak kuasa mencabutnya, juga membiarkannya. Meski renyang, akan kubawa tanpa sangsi. Kujadikan pohon itu sebagai hadiah Tuhan. Berlatih untuk tak menyesali buah apa pun yang dihasilkan.

Tumbuhlah dengan baik, menjadi wasilah hikmah.

[Latepost]

🌳CU
29 Ramadhan 1445/8-4-2024

Semesta KitaWhere stories live. Discover now