🌌Aurora

62 9 1
                                    

Aku terbangun lagi. Kali ini sesuai waktu. Tubuh bangkit dari ranjang, mengerjapkan mata, dan menyingkap sedikit tirai jendela, kembali mengintip langit seperti semalam. Tidak ada yang terlihat kecuali kegelapan. Aku bangun lebih awal dari fajar, seperti biasanya.

Usai menunaikan ritual spiritual, aku mengecek layar ponsel, tidak ada notifikasi berarti kecuali pesan dari operator seluler, informasi cuaca, dan iklan dari aplikasi mobile banking.

Lucu, bukan? Aku mengajak bicara cahaya fajar kadzib sebagai penanda sebentar lagi waktu subuh tiba. Cahaya lemah itu menyerupai poligon dengan tiga titik ujung dan terlukis di garis ekliptika.

"Hal muskil bagiku, ya fajar. Menggenggam tangannya yang hangat adalah kontradiksi yang nyata. Seperti mustahilnya melihat aurora."

Aku menyunggingkan senyum, mungkin kamu sedang bercengkerama di langit kutub. Menikmati interaksi antara medan magnetik dengan angin surya dalam belaian lembut dan kesejukan salju. Sementara aku, membutuhkan energi lebih banyak dengan menyendiri berteman langit yang dinodai polusi. Dan, masih dengan rasa sunyi.

Merasakan kesunyian ini, semestinya menyadarkanku. Bahwa hanya aku yang kesepian. Semalam, aku bermimpi tentang bulan. Itu adalah kamu, yang selalu dikelilingi bintang-bintang. Menghibur dengan canda. Aku pantas diabaikan, karena aku hanya ranting pohon yang sombong sebab keberhasilan menyentuh, padahal semu.

Kubuka grendel jendela, membiarkan angin peralihan malam dan pagi menerpa kulit.

"Sapalah dia sebagaimana engkau menyapaku," bisik angin.

Aku menggeleng. "Tidak perlu, hanya akan mengganggunya. Lihat, pesanku bahkan tidak juga bercentang biru. Aku merasa menjadi wanita yang sangat memalukan. Tidak memiliki harga diri."

"Mengapa begitu?" Angin dari celah jendela berpindah ke meja belajar. Menyentuh ujung-ujung bunga artifisial berwarna biru.

"Kamu tahu, aku wanita seperti apa, 'kan?"

"Hahaha," tawa angin beriringan dengan nyeri di dadaku yang datang tiba-tiba.

Terkadang, ejekan angin berhasil masuk ke dalam tubuh, dan mencubit paru-paruku. Anehnya, jantungku tidak terima dan membentak angin dan mengusirnya dengan kasar sehingga kemarahan itu berakibat pada rasa sakit yang lebih parah.

"Aku berjanji, jika hingga matahari nanti naik di atas bayangan, pesanku masih tidak dipedulikan. Aku akan menariknya kembali."

"Kau tahu, itu kekanak-kanakan!" Angin yang masih berkeliaran di sudut-sudut kamarku protes.

"Lebih baik kekanak-kanakan daripada sok terlihat dewasa, padahal aku sangat rapuh. Dan, itu sangat menyakitkan karena fakta pengabaian." Aku mulai jengkel. Seucap lagi angin membela penerima pesan yang kumaksud, kuusir.

"Dia melakukan itu karena kecewa padamu."

Dan, aku akhirnya menutup jendela. Pura-pura tak peduli pada angin yang berteriak tipis setipis keberadaannya.

"Percuma."

Bukan menyiapkan peralatan mandi dan bersiap untuk bertemu dengan subuh, aku justru kembali meringkuk. Seolah tak ada energi positif yang memotivasiku untuk melawan rasa malas.

Mataku memejam, memaksa diri untuk menemuimu di bawah langit aurora. Langit yang hanya ada di tempat impianmu.

Tidak ada. Kamu tidak ada. Hanya ada cahaya menyala yang menari-nari di lapisan ionosfer. Magnetosfer dan solar storm menyebabkan partikel atmosfer meningkat, berubah arah.

"Untuk apa kau kemari? Ini tempat yang tidak pantas untuk kau datangi." Seorang wanita mengusik ketenanganku mengagumi aurora.

"Apakah aku harus membayar tiket untuk bisa di sini?" Aku menatap sosok yang memandangku dengan sorot ketidaksukaan.

"Harusnya begitu, kau harus membayar mahal."

Aku tersenyum. "Haruskah aku pergi?"

"Ya, kau harus pergi. Kau tidak layak."

"Tapi aku sudah berada di sini tanpa kusadari. Ingatlah, kita mungkin sama-sama tersesat."

"Kau yang tersesat. Kau pasti menggunakan cara tidak baik untuk berada di sini."

Aku menganga heran. "Aku tidak melakukan apa pun untuk hal ini. Tidak perlu menuduh yang bukan-bukan. Baiklah, aku minta maaf jika kedatanganku menganggumu."

Dengkusan napas terdengar. Apakah dia begitu tertekan?

"Kau pikir aku tidak tahu kalau permintaan maafmu itu palsu? Aku sudah memeperhatikanmu selama ini. Memuakkan."

Sungguh, pemandangan indah di langit menjadi suram. Suram sekali. Tidak ada lagi wujud aurora yang sempat menghibur kesepianku.

🌌CU
10 Jumadil Akhir 1445/23-12-2023

Semesta KitaWhere stories live. Discover now