🌧Hujan

60 8 1
                                    

Ada yang mengingatkanku akan sebuah hukuman, bahwa ini bukanlah ujian melainkan balasan.

Atau mungkin saja aku terlahir ke dunia bukan untuk meminta cinta, tetapi memberikan tanpa perlu kudapat penerimaan.

Seperti hujan yang turun seolah menjadi bukti cinta langit kepada bumi. Agar bumi punya kehidupan, menghijaukan tumbuh-tumbuhan, tak ada makhluk yang kehausan.

Hujan bukan sebatas amsal akan sebuah ketulusan, tetapi rasa kasih. Selayaknya begitulah cara Tuhan mengirim nikmat melalui perantara-perantara.

Akukah salah satu perantara anugerah? Atau musibah bagimu?

~~~

Aku kembali masuk ke kamar dengan perasaan lebih segar. Angin telah pergi tanpa pamit setelah menumpang lelap. Tidak masalah, tak butuh waktu berlama-lama, dia pasti akan segera kembali datang.

Jendela masih terbuka walaupun hari sudah beranjak malam. Aku segera menutupnya. Tepat saat ada kilat terlihat membentuk lidah api yang perkasa. Lalu disusul dengan gemuruh seolah langit akan runtuh. Kiranya sebentar lagi akan luruh presipitasi cairan yang mengandung 99% molekul pengikat dua atom hidrogen satu atom oksigen.

Tempias mampu menembus permukaan bumi yang gersang. Suaranya riuh.

Di sini hujan.
Sejak bersamamu, aku bisa menceritakan hujan dengan bangga. Tak seperti dulu, aroma hujan selalu memberikan kesan duka.
Aku bahkan bersajak tentang mimpi, masa depan yang berganti. Meskipun kusadari, aku semakin tak berani menganggapnya sebagai keberwujudan.

Ya, aku masih kukuh dan tak tahu diri mengaku-aku akan bahagia nanti, walau tanpamu membersamai.

Sebelum akhirnya kita berpisah, bukankah cara terbaik untuk menghabiskan waktu adalah berbincang? Bukan tentang masa depan, karena keputusanku untuk menerima itu kadang menyesakkan. Namun, tentang masa lalu yang selalu mengajarkan untuk bersyukur dan masa kini yang menuntut untuk sabar.

Aku lebih suka membicarakan tentang keabsurdan kita yang patut kita tertawakan, atau tautan rasa yang tidak akan pernah masuk akal. Aku cukup bahagia dengan itu, akan kusimpan dalam hati hingga usang.
Dan, bukan pada masa depan yang selalu menyuruk egoku untuk merintik hujan sendirian.

Datanglah seperti hujan yang menawarkan kehidupan. Menetaplah seperti hujan yang memberikan kesejukan. Pergilah seperti hujan yang menyisakan pelangi.

Bukankah selalu ada harapan dan keindahan dari setiap kesabaran?

Sudahkah aroma hujan berganti?
Kamukah yang akhirnya mengubah itu?

"Hujan ini turun bukan untukmu." Benar kataku, angin tak akan meninggalkanku lama. Melalui ventilasi dia masuk ke ruangan di mana aku masih merenung.

"Sekali-kali berhentilah mengheningkan cipta." Masih belum kusahuti setiap susunan kata paling tahunya itu.

Aku hanya melirik benda kotak pipih, menjadi topik bicaranya beralih.

"Bukan hanya otakmu yang terpenjara di benda itu, hatimu juga."

Aku mengangkat bahu. Enggan berkomentar. Aku hafal, menanggapi ujarannya itu hanya menyisakan perdebatan tiada akhir. Seperti pendapat seseorang yang menganggapku bodoh dan inkonsisten. Memangnya kenapa jika pikiran dan perasaanku terpenjara dalam bui kenyamanan?

Kenyamanan yang kata mereka--juga kata kita--merupakan kenyamanan palsu, semu, dan halu. Hanya pantas disuguhkan dalam narasi fiksi dan dikomentari dengan candaan dan dikritisi secara tajam.

Begitukah kisah kita harus berjalan?
Pertemuan hanyalah kesia-siaan, maka, iya kupilih cerita kita ini hanya sebatas ingatan yang menumbuhkan kesan. Maaf bila kesan itu begitu mendalam. Mungkin akan mengendap dan tersimpan. Menjadi kenangan manis yang tragis.

"Kekuatan yang kupongahkan menjadi bumerang." Akhirnya aku menyahut. "Aku memang tak mudah jatuh hati. Namun, sekali aku terjatuh, aku sulit untuk berdiri."

Udara bergerak menyentuh pelipisku yang berdenyut. Cukup nyeri, hingga kupijat sesaat untuk meredakan rasa sakit itu.

"Aku bukan tak peduli bagaimana kamu, dia, dan mereka menilaiku sebagai orang bodoh dan naif. Aku hanya menyadari, jika memang demikian untuk apa aku menyanggah?"

Belum sempat ada sahutan lain, perhatianku teralihkan pada pop up yang menghapus kekhawatiranku. Di antara hari-hari yang tak lagi sama seperti saat kesibukan menyita waktuku, menunggu kabar adalah kegiatan yang menyenangkan--dan mendebarkan.

Aku tak suka mengkahwatirkan diri sendiri, tetapi aku sangat suka mengkhawatirkan orang lain.

Kamu adalah hujan di sanubariku, dengan ragam filosofi yang kurasakan sebagaimana hujan memberikan makna.

Kamu adalah presipitasi dalam denyutku, walau menjadi virga. Tak sempat menyentuh permukaan bumi, jejak di awan terlukis nyata.

Sejak mengenalmu, dimulailah perspektif baruku untuk berkenan melihat pekat mega hitam. Sejak mengagumimu, ada awal baru untuk tidak hanya memimpikan warna-warni difraksi cahaya. Ada badai yang harus kuhadapi. Ada ilusi optik yang harus kupahami.

Pacak air ribut memanggil. Aku ingin bermain di bawah tarian hasil kondensasi di panggung basah bumi. Ditemani tambur guntur dan kegelapan.
Menatap langit dengan sungguh-sungguh, melafalkan doa-doa.

🌧CU
21 Rajab 1445/3-2-2024

Semesta KitaWhere stories live. Discover now