⚡️Petir

20 6 0
                                    

Tampaknya aku kelelahan, terbangun di kasur tanpa semangat untuk menegakkan badan. Ini adalah hari-hari yang dulu sulit untuk kudapatkan, bersantai. Memang, aku pernah berada di posisi terlalu sering terlambat tidur dan harus lekas bangun untuk mengurusi bertumpuk-tumpuk berkas administrasi. Juga kewajiban mengabdi dengan segala persiapan yang mumpuni. Tak ada kata terlambat dalam jadwalku, jika itu terjadi, aku pasti akan begitu menyesal dan mengutuk diri sendiri. Sesekali menggerutu karena ketidakdisiplinan yang amat menganggu.

Aku menggapai smartphone untuk mengecek waktu. Masih cukup pagi. Meskipun tak seperti biasanya jam biologisku akan mengajak terjaga di sepertiga malam, hari ini menjelang subuh aku baru membuka mata. Sayup-sayup tilawah terdengar dari masjid terdekat. Ada rasa tak nyaman. Bukan hanya karena keteledoranku mengkonsumsi makanan, tetapi juga kegagalan manajemen pikiran.

Mungkin aku terlalu sibuk berpikir seharian, memikirkanmu, hingga aku tak sadar sudah digerayangi meriang. Sungguh, ini demam sungguhan. Tidak hanya karena beban kerinduan dan kepasrahan. Ditambah lagi, semalam aku bermimpi buruk, terbawa badai hingga ke planet venus yang membara seperti puaka.

Semalam, aku susah tidur. Gelisah. Berharap kamu datang menyelamatkanku dari kegamangan. Nyatanya, kamu hanya sekadar bayangan yang kubuat sendiri hanya untuk memuaskan inginku tanpa kamu mau.

{Besok malam aku menginap di kosanmu.} Pesan itu masuk ke aplikasi obrolan.

Setelah membuka dan membaca, aku membalasnya. {Datanglah, aku sepertinya juga sedang butuh teman}

Ya. Beberapa kali, kamu juga menyuruhku untuk memberi tahu teman jika aku merasa tak enak badan, bukan?

Kuharap kamu senang, aku mengabulkan permintaanmu. Namun, perlu kamu ingat bahwa yang sakit bukan fisikku, tapi dadaku. Aku sakit jika kamu abaikan. Tak mengapa, aku akan lalui. Aku tahu aku baik-baik saja. Mungkin saja, ini adalah latihan. Aku harus belajar untuk kehilangan.

Kehilanganmu.

Deru bayu tampak bertikai dengan kaca jendela. Membuatku menoleh dan menemukan kilatan cahaya dari celah gorden. Merupa cemeti berapi. Aku teringat dengan petir yang kujumpai semalam setelah berpisah dengan pemilik sayap putih. Meskipun gagal membawaku kembali ke planet yang kamu deklarasikan, setidaknya, kamu berhasil membuatku meninggalkan saudara bumi yang mampu melelehkan timah.

Panas sekali, bukan? Oh, tenang saja. Masih tak seberapa dibandingkan panas petir yang mampu mencapai puluhan ribu derajat celcius. Kadang, muncul ide gila untuk menadah hujan menengadah ke langit. Menantang guntur dan mencapai kepuasan saat teriak sesak mampu bersaing dengan suaranya yang perkasa.

Gejala alam itu wajar untuk tak absen di musim air turun dari langit. Seperti wajarnya kilatan rasa bersalah yang mengiringi air yang turun di wajah.

Muatan negatif terlepas dari sisi awan, mencari muatan positif menuju bumi. Pembuangan elektron menghasilkan listrik berdaya hebat menciptakan fenomena alam yang menakutkan.

Blitz yang sesaat lalu muncul ikut menembak sudut mataku, aku yakin akan segera disusul oleh gelegar suara. Dan benar, langit seolah meneriaki bumi untuk berhati-hati.

Kamu tidak mau meneriakiku?
Maki saja aku agar mengerti bahwa aku harusnya mawas diri. Berhati-hati.

Jika kamu ingin memarahiku, curahkan saja. Aku lebih suka kamu langsung mengatakan hal apa yang tidak kamu sukai dibandingkan diam dan pergi. Hal itu hanya akan menjadi pemicu kekhawatiran yang berlebihan.

~~~

"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Teman yang kukenal selama dua tahun ini telah sampai di kamar kosku. Dia kini menjadi ratu dan menguasai kasurku. Sementara aku nyaman tergeletak di matras sambil asyik mendengarkan curhatannya yang kini beralih interogasi.

"Bersantai sejenak di kampung, merawat dan menanam kembali bunga-bunga yang meranggas dan mati. Barangkali." Saat ini, itulah yang terbayang di kepalaku.

"Sesederhana itu?"

"Hm, menjelajahi kebun juga menyenangkan." Meskipun aku tahu aku akan bertengkar dengan hewan-hewan, pulang dengan membawa rasa gatal di permukaan kulitku. Aku tetap bangga mengatakan itu.

"Tidak ikut pengabdian di NTT? Lumayan, sambil menunggu ijazah keluar dan upacara wisuda nanti."

"Sejujurnya, aku belum siap untuk kembali bertemu orang-orang baru. Kamu tahu aku seperti apa."

Dia manggut-manggut, karena dia pasti paham betul aku bukan orang yang mudah akrab. Lebih suka menyendiri dan berkutat dengan tanggung jawab. Setidaknya, image itu aku ketahui dari testimoni orang-orang yang pernah mengenalku.

"Kamu pasti bisa, kok. Aku yakin itu. Pendiam juga bukan suatu kesalahan."

"Kalau sudah akrab begini, masih anggap aku pendiam?"

Dia terkekeh pelan, "Kamu juga ada asyiknya, kok. Ya, walaupun memang kadang aku bingung kapan kamu bercanda karena seperti selalu serius."

Aku meliriknya menahan tawa. "Sudah kubilang, aku tidak berbakat bercanda."

"Kamu tahu?"

"Apa?"

"Sebenarnya, bulan-bulan terakhir aku lebih sering melihatmu ceria. Wajahmu cerah, seperti orang sedang jatuh cinta."

Aku mengernyitkan dahi, "Sungguh?"

Dia mengangguk dengan wajah serius. "Cuma hari ini kamu tampak muram."

Haruskah aku ceritakan padanya, kamu yang membuatku ceria, dan hari ini, aku muram juga karenamu. Seperti segumpal kumulonimbus yang bermuatan positif dan negatif. Perbedaan potensial antara awan dan bumi, awan dan awan, terjadilah pembuangan elektron. Buanglah muatan negatif itu banyak-banyak, kalau perlu habiskan.

⚡️CU
27 Rajab 1445/8-2-2024

Semesta KitaWhere stories live. Discover now