🌅 Senja

45 8 1
                                    

Dimensi tempat dan waktu berhasil kulipat meskipun hanya setengahnya saja. Tak ada lagi sengatan matahari, berganti dengan warna jingga dan cahaya yang redup. Sehingga bulatan sempurna bisa terlihat di mataku dengan pemandangan menawan. Tak ada lagi gurun pasir nan gersang, berganti dengan hamparan air yang memantulkan warna keemasan bercampur dengan debur ombak yang sahdu.

Meskipun palsu, kelihaian diri untuk berpindah latar, tidak merugikan siapa pun. Berbeda halnya dengan teknologi, yang muncul dari kecerdasan manusia menciptakan kecerdasan buatan. Bisa begitu kejam karena kepalsuannya mampu menjangkau waktu dan tempat yang begitu luas.

Seorang teman yang kukenal sejak kami sama-sama berkuliah di kampus yang sama, sampai kini masih akrab berbincang lewat sosial media, mengirimiku tautan video.

Aku mengerutkan kening, menyimak video yang berhasil kuputar. Berpikir sejenak untuk mencerna. Aku lalu teringat juga dengan video terbaru yang sempat aku lihat di beranda salah satu media sosial.

Video yang menampakkan seorang balita terseok-seok berjalan di tepian pagar besi dan di bawahnya adalah jurang sungai yang amat dalam. Sempat membuatku menggerutu, "Mana orang tuanya? Yang memvideo tidak punya empati." Padahal biasanya aku skeptis terhadap postingan-postingan orang. Aku memang selalu luluh kalau dihadapkan dengan masalah bayi dan anak-anak.

Baru beberapa detik aku mengeluh tanpa memperhatikan detail gambar video dengan teliti, aku telah sukses tertipu. Pemilik akun yang memosting video mengklarifikasi dengan memberikan tutorial mengedit video tadi.

Aku menggelengkan kepala, "Oh, ternyata editan."

Mengingat itu aku langsung menanggapi chat teman yang pernah kukenal dan kami berkomunikasi face to face lalu kini karena jarak kami harus menjalin pertemanan dengan perantara teknologi.

"Jangankan hanya sekadar narasi, gambar dan video pun bisa dimanipulasi." Aku menuliskan kalimat itu di kolom chat.

Ya, seperti itulah dunia kita saat ini. Saat dihadapkan dengan komunikasi secara langsung saja bisa rusak, apalagi dengan segala kemudahan teknologi yang memberi media komunikasi secara tidak langsung.

Dia menyetujui pernyataanku.

Ya. Kabarnya, teknologi terbaru yang disebut AI (artificial intellegence) yang mulai hadir memberikan klaim akan kecerdasan buatan sebagai entitas yang nantinya mampu menciptakan hardware dan software sendiri darinya, memberikan manusia kemenangan yang semu.

Seperti semunya perasaanku. Terkadang, aku berpikir. Apakah aku sangat bodoh menyimpulkan segala hal tentang keberadaan? Bahkan keberadaanku sendiri pada masa ini sebagai apa? Kemudahan teknologi membuatku nyaris gila. Bukan semakin membuatku bisa menjangkau apa yang aku mau, tetapi juga hal-hal di luar kendaliku.

Aku refleks melemparkan ponsel pintar yang kupegang hingga menghunjam permukaan pasir pantai. Debur ombak masih menemaniku.

"Bukankah perasaanku ini nyata?" Dadaku kembang kempis, ya nyata.

Lewat barisan kata-kata yang disalurkan itu:
Aku mampu merasakan kebahagiaan dari kabar-kabar gembira yang mampu membuatku tersenyum dan merasa berharga.
Aku bisa merasakan kegundahan dari kabar-kabar buruk yang bisa membuatku menangis dan merasa berputus asa.

Yang semu itu sungguh memberikan dampak begitu nyata.

Hesperos, lagi-lagi aku memanggilnya dengan sebutan istilah yang kuambil dari mitologi Yunani.
--selain karena memiliki relevansi tersendiri, aku suka karena aku diam-diam gemar mempelajari ilmu filsafat.

Hesperos, sebuah bintang senja, lambang dari kefanaan atau keindahan sesaat. Seperti kenyamananku saat ini, meskipun aku meminta kekal yang ada hanyalah kekalahan, 'kan?

Bulatan orange mulai tenggelam di peraduan, batas antara garis langit dan bumi. Aku melambaikan tangan. Berdiri dan berlari seolah mengejar senja. Berhenti di garis pantai yang tertutup air. Setengah kakiku tenggelam, aku tak peduli.

"Kamu sudah berhasil memperbaiki komunikasimu dengannya?" Sang angin yang datang dari darat ke arah laut.

"Kamu kembali hanya untuk mengejekku lagi?" Aku menyahuti pertanyaan dengan tanya sarkas.

"Hei, lihatlah dirimu. Betapa teman-temanmu begitu peduli, tetapi yang bisa menemanimu sepanjang waktu hanya aku?" Dia bertanya kembali.

"Kamu merasa telah menjadi temanku?" Sepertinya percakapan kami hanya pertanyaan-pertanyaan.

"Ayolah, siapa yang saat ini tahu dirimu sedang mengutuk sosial media?"

"Tuhan." Aku sukses membuat angin terdiam. Ya, dia selalu lemah jika aku sudah menyebut Tuhan.

Gemulai dia turun dari nyiur menuju ujung-ujung pakaianku. "Ceritakan padaku."

Aku menghela napas. "Kekhawatiranku nyata."

"Aku sudah tahu."

"Aku kadang takut perasaan yang dia katakan itu hanya tipuan. Dia katakan akan bisa menggadaikan kewarasan dan aku juga demikian. Jika dia berhasil membuatku selemah ini, artinya memang afeksiku meninggalkan akalku. Di tempat yang berbeda, bisa saja aku sedang menjadi bulan-bulanan."

"Prasangkamu mengerikan."

"Ya, bukankah dunia maya memang amat mengerikan?"

"Lalu mengapa kamu masih bertahan?"

Aku mencari keberadaan angin. Dia sedang mengajak permukaan air berayun menuju senja.

"Lalu aku harus ke mana? Aku sudah tak punya tujuan di dunia lagi selain kematian."

🌅CU
14 Rajab 1445/26-1-2024

Semesta KitaМесто, где живут истории. Откройте их для себя