🪐Saturnus

41 5 1
                                    

Doa yang kuutus kuharap setia dan menemani ke mana pun langkahmu pergi. Termasuk setiap waktu yang kamu bersamai. Belum paripurna empat kali peredaran bumi terhadap matahari, tetapi sudah utuh angkamu di tahun ini. Angka yang bukan hanya cerminan kedewasaan. Kurasa, tentu masih diikuti oleh berbagai harapan yang ingin kamu genapkan.

Doa yang kulayangkan bukan hanya sekadar tulisan tanpa makna dan asa. Hanya wakil dari setumpuk rasa yang gempita di jiwa.

Aku senang, komunikasi kembali berjalan. Meskipun khawatir jika ada rasa yang pasai. Jemu sebelum temu adalah suatu kekalahan bagiku. Aku melalui semua ini tanpa aba-aba dan mungkin juga tanpa juara.

Tenang saja, meskipun aku sedikit pelupa, aku akan mengukir semua nostalgia.

Sejak kusadari, apakah tak perlu lagi aku mengeluh padamu? Apa yang akan kubagikan dari setiap tautan yang terhubung? Kadangkala, kecemasanku berada di tepi. Mengingat keherananmu yang pernah terperi.

"Aku heran, mengapa kamu bisa seperti itu? Kendalikanlah dirimu seperti sebelumnya."

Aku tersenyum simpul. Sepertinya kamu sangat menyayangkan keputusanku untuk menitipkan rasa padamu.

Gorden bercorak bunga lili menari. Dalam kesendirianku mengingatmu, angin datang menjadi tokoh ketiga.

"Bukankah dia yang memulainya? Dia berhasil menarikmu, dan sekarang seolah dia yang ingin mendorongmu agar menyingkir." Angin paling gemar mengomentari. Ya, karena memang sepertinya dia paling mengerti seluk-beluk kisah ini terangkum.

"Dia berpikir aku tidak sama seperti yang lain. Aku juga dulu berpikir, aku berbeda. Bahkan aku sombong berkata bahwa kami tidak akan mungkin saling jatuh cinta."

Aku merenung, saat kamu menanyakan alasan. Aku mencari kepastian dan juga kemungkinan-kemungkinan. Bukan aku tak mau menjawab. Kadang aku menemukan jawaban, tetapi kadang juga tidak. Hingga terjadi percakapan ini:

"Bukankah tak semua pertanyaan butuh jawaban?" tanyaku.

"Aku ingin jawaban," ujarmu.

Aku menarik napas panjang. "Karena kamu peduli dan perhatian."

Tampaknya kamu tak suka dengan jawabanku.

"Sebenarnya, apa yang perempuan pikirkan tentangku? Mengapa mereka mudah sekali percaya dan mengucapkan cinta?"

Aku menggeleng.

"Lalu mengapa kamu percaya dan menyerah begitu saja padaku?"

"Kamu menyamakanku dengan perempuan-perempuan itu?"

Giliranmu menggeleng.

"Aku ingin tahu jawabanmu."

Aku menatap serumpun bunga krisantemum yang sudah mengering.

"Dua rumpun bunga yang ditanam di tempat berbeda, nutrisi yang berbeda, intensitas cahaya yang berbeda, pasokan air yang juga berbeda, pasti akan menghasilkan kesuburan bunga yang berbeda. Jadi, bunga-bunga yang mendapatkan perlakuan berbeda bagaimana bisa dibandingkan?"

Aku yakin, kamu memahami perumpamaan yang kuungkapkan.

"Seharusnya, kamu tak mudah percaya pada lelaki mana pun."

Mataku merebak. Kamu benar.

Asalkan kamu tahu, aku tidak pernah mau percaya pada laki-laki mana pun. Jika kini celah itu berhasil kamu susupi, apakah patut untuk kemudian aku masih memiliki pendirian yang sama?

Aku kecolongan. Mengapa kenekatanmu serupa pencuri? Dan parahnya, aku malah menyerahkan perasaan paling berharga bagiku dan sama sekali tak bisa melawanmu.

Ya, bagaimana mungkin aku bisa melawan sosok berani dan percaya diri sepertimu. Kesumbaran yang sempat membuatku melirik, berganti pada atensi penuh atas kemandirian dan kejujuran. Juga kepedulian dan perhatian yang berlanjut pada rasa ingin membalas segala kebaikan. Ingin kurengkuh sebagai simbol perlindungan.

Duniaku riuh gembira oleh kehadiranmu.

Kamu adalah saturnus. Bukan hanya pemilik satelit terbanyak, tetapi juga unik dan istimewa.

Tarikan gravitasimu menjelma cincin yang mampu menjadi daya tarik bagi sesiapa yang mudah terkesan. Meskipun kehadiranmu mendominasi, tetap membuka peluang energi positif bagi yang lain.

Menatap Saturnus aku berdiri, bukan mengharap hujan berlian. Justru membuatku tersadar bahwa bukan permata, tumbuhanlah yang menjadi benda paling langka di alam semesta.

~~~

"Semoga keberkahan pada umurmu dan hayatmu. Keberhasilan yang melampaui sekalian kehidupan. Dunia dan akhirat yang membahagiakan."

Selain kata-kata yang semestinya menjadi motivasi, tak pernah bosan aku mengirimkan pengharapan. Kuharap, kamu pun tiada jenuh membaca setiap pesan monoton itu.

Namanya kehendak, kadang tak semua terjadi. Namun, setidaknya kita memiliki kekuatan untuk berdoa dan berikhtiar.

Aku hendak bertanya, bingkisan yang kamu ingin itu apa.
Aku tak bertanya, karena keraguan akankah perasaan bisa ditakar dengan benda? Aku rasa, benda-benda serupa dapat berharga karena niat pemberinya. Meski tetap saja, aku merasa tak sebanding dengan para satelit yang mengitarimu. Beberapa dari mereka tak berhasil kukejar.

"Mengapa kau tak membanggakan diri? Tak ada guna berkejaran jika rotasinya bertumpu padamu."

Aku menggeleng. Kadang, angin memang pintar menggodaku. Walau di sisi lain dia gemar sekali menyudutkan dan menyalahkan.

"Itu ironi?"

"Terserah penafsiranmu seperti apa. Tergantung prasangka."

"Masalahnya, kemauanku untuk selalu berprasangka baik kadang kalah dengan ego."

Saturnus, pita-pitamu mengikatku.

[Latepost]

🪐CU
2 Syawal 1445/11-4-2024

Semesta KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang