☀️Matahari

38 6 1
                                    

Aku terusir dari wilayah yang memberikan prasangka dilematis. Tidak ada lagi aurora, yang ada hanyalah sengatan matahari dan bulatan silaunya yang sempurna. Beberapa tetes peluh turun dari dahi. Aku mempercepat langkah saat menemukan sepohon acacia tortilis di tengah kegersangan padang pasir.

"Sejauh ini aku berpindah gatra." Tidak ada angin, pada siapa aku berbicara?

"Hebat sekali, bukankah dunia memang banyak memiliki dimensi? Jadi, wajar kamu bisa berpindah tempat dalam sekejap hanya melalui pikiranmu saja." Rumput spinifex, dia yang menyahuti ucapanku.

"Ya, benar. Unik sekali kehidupan ini." Aku mulai tidak fokus karena sengatan matahari tak bisa dihalau oleh bayangan pohon yang saat ini kugunakan untuk berteduh.

"Percuma Anda berteduh, Nona. Sebentar lagi panas matahari akan membakar. Segeralah berpindah." Tiba-tiba seorang wanita dengan wajah tertutup muncul dan mengajakku berbicara. Payung putih yang dia gunakan untuk berlindung dari sengatan matahari tampak nyaman baginya, tetapi menyilaukan mataku.

"Aku tidak memiliki payung sepertimu, bagaimana aku akan pergi dari lindungan pohon ini, sedangkan matahari masih konsisten memberikan sinarnya yang menyengat?"

"Ikutlah bersamaku, payung ini cukup untuk berdua. Mari!" Wanita baik hati yang bahkan tak bisa kupastikan identitasnya itu mendekat dan mengajakku menumpang di bawah payungnya.

"Matahari begitu panas saat ini. Jaga dirimu tetap aman, dan bersabarlah." Sang wanita memberiku nasihat.

"Terima kasih," ucapku pada wanita baik hati. Aku berpisah dengannya setelah sampai di sebuah tempat yang sejuk dengan penampakan hijau dari pohon-pohon zaitun.

Sebelum meninggalkanku dia menunjuk ke arah langit yang sangat biru, tepat pada posisi matahari yang tidak dibatasi awan segumpal pun. "Hati-hati dengan amarahnya."

Sebenarnya, aku tak tahu apa yang kulakukan di gurun ini. Setiap keadaan semesta mesti berganti tergantung pada suasana hatiku. Bisa saja aku sebenarnya sedang berada di kutub di mana ada pias aurora. Namun, karena hatiku yang cemas aku tidak merasakan kesejukan dan keindahan yang didedahkan alam. Yang kurasakan hanyalah amarah laksana matahari yang siap membakar hingga sirna.

Benarkah aku akan benar-benar sirna?
Seperti pada saat ada bisik nyata yang memberiku kabar tak adil. Aku tidak bisa mencela matahari karena hanya aku yang akan merugi.

"Hahaha, sudah kubilang, 'kan? Kamu itu tidak berhak atas apa pun. Bukan hanya aurora yang seharusnya menjadi milikku, bukan milikmu. Bahkan matahari tidak bersedia mentoleransi kesalahanmu. Lihatlah keberuntunganku ini. Aku tetap bisa berada di sisinya yang mana pun yang aku mau. Matahari tidak akan membakarku hingga sirna. Sedangkan kamu berhati-hatilah, bersiaplah dia lenyapkan kamu dalam sekejap. Itu dikarenakan kamu penuh kepalsuan dan licik. Enyahlah, munafik."

Suara perempuan yang kutemukan di lingkaran kutub, menggelegar memekakkan telingaku. Aku menutup telinga, tetapi suara itu masih menggema jelas. Suara itu tidak datang dari lisannya, tetapi dari prasangkaku.

Dalam mitologi Yunani, ada nama Helios yang diperkenalkan sebagai personifikasi dari matahari. Sama seperti sosok yang sedang membuatku khawatir dan tak bisa membendung sengatan panasnya. Padahal dialah sosok yang mampu meluluhkan sebongkah hatiku yang beku.

Setangguh Helios yang menjaga bumi dengan mengendarai empat kuda berapi-api, melintasi langitku yang gelap dan sunyi. Semurka Helios pada Odysseus, saat aku begitu kejam membakar harapannya. Sehebat Helios yang menjadi mantra sumpah, pandai meluluhkan, dan menjadi pusat perhatian. Menguasai langit dan bumi dalam duniaku saat ini.

Katakan aku terlalu berlaku lajak, lebai. Namun, getaran yang sebelumnya tidak pernah sekuat ini benar adanya.
Katakan aku tak cukup ilmu untuk memanajemen hati ini, bodoh. Namun, perasaanku juga tidak bisa dibohongi.

Justru, terkadang aku takut dia sedang merancang drama nan indah, lalu aku jadi badutnya. Sayangnya, kepercayaanku padanya demikian kuat. Hanya bisa melihatnya secara positif dari kaca mata batinku. Ya, walaupun aku tidak memiliki indra keenam atau bahkan indra keseratus, aku hanya perlu tetap lurus dan berharap perasaanku padanya selalu tulus.

Tak akan ada penyesalan kelak jika matahari meninggalkanku sendiri. Meskipun ketakutan tetap menjegalku untuk menuntut aspirasi. Apalah daya, jika dia memilih pergi. Aku akan memberikan jalan padanya untuk bisa melangkah dan menjemput kebahagiaan di peraduan. Banyak harapan lain menantinya, tidak sepertiku yang memiliki episode dalam kekalahan.

Wahai, matahari.. jika aku perlu sirna dari siang agar kamu tak terganggu, aku akan melipat dimensi tempat dan waktu, berada di kegelapan malam tak akan mengusikmu.

☀️CU
9 Rajab 1445/21-1-2024

Semesta KitaWhere stories live. Discover now