🌑Gerhana

16 5 0
                                    

Malam ini, di tanah kelahiran ini, kutatap purnama yang tampak di langit. Berdasarkan informasi yang kudapatkan dari kanal-kanal berita, malam ini terjadi gerhana.

Kupandangi bulan yang sayu warnanya, dikelilingi awan berkabung, mendung.

Sepi, seperti hatiku.
Bukan tak mengakui keberadaan orang-orang yang peduli padaku, khususnya kamu. Aku tahu kamu amat peduli padaku, meskipun aku merasa kita kadang berselisih paham, aku lalu berpikir mungkin kita sedang berlatih untuk kembali saling asing. Suatu saat nanti, ketika prediksimu, yang kemudian harus kuyakini, mungkin akan terjadi.

Renunganku pun kembali pada kisah bulan. Dalam bab awal kisah kita dimulai, bagiku kamu adalah bulan. Berada di kawasan yang tak mungkin bisa kumasuki. Dirimu terlalu jelas memberikan batas, sejak pertama kali kita saling mengenal, hingga saat ini.

Tatapanku masih setia pada benda indah berwarna pucat di angkasa.

Bulan yang tak bisa kurengkuh. Bulan yang tanpa kehadiranku pun akan tetap beredar di orbit yang kokoh. Bulan yang tak akan pernah kesepian, meski aku menghilang.

Sebelum aku masuk ke garis edarmu, bahkan sampai saat ini pun, aku tidak bisa menggeser posisi orang-orang penting bagimu, bukan?

Aku hanya sosok yang tak akan pernah bisa menjangkau lingkaran kehidupanmu.

"Bisakah kamu menghilangkan negative thinking itu?" Aku sangat ingat dengan kata-katamu yang menahan kekesalan dan kecewa.

Padahal, aku sangat mementingkanmu bahkan sejak sebelum rasa yang tertancap dalam ini menghunjam. Kamu mungkin tak ingat sapaku yang tak kamu balas, senyumku yang kamu abaikan, dan tanyaku yang tak pernah kamu jawab.

Meski pada kenyataannya sekarang berbeda. Sapa, senyum, dan tanya menjadi hal yang paling ditunggu. Sehingga pengabaian yang dulu tak kuhiraukan, kini terasa piuh.

Rasa sakit diabaikan, menggangguku, mengganggu tidurku, mengganggu aktivitasku.

Kamu diam. Kamu kesal. Ya, aku tahu, saat kamu kesal, kamu akan diam. Dan sialnya, itu semakin menyiksaku.

"Malam ini ada gerhana bulan." Pesan dari temanku yang sedang mengobrol via chat.

Ya, aku tahu. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah merilis berita tentang terjadinya gerhana bulan penumbra. Akan tetapi, hanya bisa terlihat di Indonesia bagian timur. Bulan yang saat ini kulihat hanya penampakan bulan purnama yang terang meskipun dikelilingi awan-awan hitam.

Bulan Ramadan tahun ini, ada dua fenomena gerhana yang terjadi. Gerhana bulan di pertengahan bulan dan gerhana matahari di penghujung Ramadan menuju lebaran. Kabarnya, solar eclipse itu akan disertai dengan penampakan komet cryovolcano. Sayangnya pula fenomena itu hanya bisa dilihat di Meksiko, Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Oceania.

Lupakan gerhana alam. Lihatlah gerhana yang ada dalam pikiranku sekarang.

Kita seperti gerhana, yang dinaungi bayang-bayang. Dua entitas yang terhalang entitas lain. Potensi untuk menjadi rasa kehilangan.

Aku terpenjara dalam umbra. Tak adakah secercah harapan dari kemustahilan bernama cahaya?

Ada.

Ingatlah ketika kamu datang pertama kali dalam kehidupanku. Mendobrak hati yang sungguh tengah begitu rapuh. Di saat aku benar-benar ingin menyerah untuk menggapai cahaya yang telah pudar--ayah. Sosok yang tak pernah lagi kujumpai dari terakhir kali mengucap kalimat serupa sumpah serapah, memilih pergi. Kesalahan fatalku adalah menjanjikan keyakinan untuk pergi mencari jejaknya, di mana tinggalnya. Namun, belum sempat janji itu tertunaikan, sosok itu sudah tiada. Meninggalkan kenangan yang menjadi teka-teki selamanya.

Kamu tahu rasa lelah saat itu? Rasa tak butuh perpanjangan waktu. Aku merasa patah, dan kamu datang di saat aku hampir tak menginginkan mimpi apa pun lagi.

Aku gamang, linglung, ingin mengoyak diri dan banyak memilih berdiam, menyendiri. Kamu datang, seperti purnama yang menyinari kegelapanku kala itu. Di saat aku butuh ruang untuk bercerita dan mengeluh. Lalu aku tak peduli dan tak sempat menanyakan maksud kedatanganmu.

"Kamu jauh lebih beruntung."

Kalimat yang seharusnya membuatku tersinggung karena dibanding-bandingkan, padahal setiap manusia memiliki luka masing-masing. Nyatanya, justru kalimat itulah yang membuatku tersadar. Tak ada gunanya aku larut dalam kesedihan fana.

Kudengarkan kisahmu. Hingga perlahan menjadi benih kewajaran, hingga kita tiba di puncak sasaran dan mungkin dianggap berada di fase "ketidakwarasan".

Maaf jika selama ini aku egois dan berlaku buruk terhadap diri sendiri. Maaf jika sifat burukku itu membuatmu berkali-kali ingin menjauh.
Hanya maaf yang menjadi balasan atas kebodohanku, dan terima kasih untuk kelapangan hatimu.

Jika nanti gerhana benar-benar meletakkanku pada kegelapan paripurna, kuharap kamu berada di atas takhta dan cahaya paling terang.

Ini bukan doa zalim. Berkali-kali aku dituntut untuk tahu, bahwa yang perlu kudoakan bagi orang lain adalah kebaikan-kebaikan. Meskipun aku sedang berada di lembah keterpurukan.

"Mengapa kamu datang ke kehidupanku?"

"Karena aku mencintaimu."

Ada kerapuhan dan lelehan hangat dua cermin hati.

[Latepost]
🌑CU
14 Ramadhan 1445/25-3-2024

Semesta KitaWhere stories live. Discover now