⭐️Bintang

40 8 1
                                    

Semesta adalah ruang paling nyata yang bisa kita lihat dan kita rasakan. Di antara banyaknya makhluk, ada satu benda masif yang mampu membangkitkan energi melalui reaksi fusi nuklir: bintang.

Di antara kegelapan, cahayanya memberikan kehidupan. Bukan hanya menjadi simbol praktik-praktik religi, tetapi juga menjadi objek sains. Menjadi navigasi dan sumber kepercayaan tentang sebuah tindakan.

Jarak demikian jauh sampai tak dapat kutahu berapa suhu, massa dan ukurannya, bagaimana bentuknya, seperti apa kinematikanya, apa saja komposisi kimianya, serta secepat apa laju rotasinya. Yang kutahu, medan magnetnya begitu kuat sehingga mampu menarikku dalam cengkeraman Alpha CMa, kartika paling terang di langit malam.

Meskipun ada jutaan bintang yang mungkin lebih terang, bagiku kamu adalah Syi'ra. Luminositas lebih banyak yang kuterima, dan jarak bukan lagi inhibisi. Lalu, terciptalah rindu.

Perpaduan antara kasih dan gelisah dimenangkan oleh rasa bungah. Kekosongan yang terbina terisi dengan rangkaian ucapan yang berhasil membuatku menjadi merasa berharga.

Aku tahu aku pantas untuk mencintai dan dicintai, berhak untuk berbahagia. Sayangnya, kemelut godaan lebih menakutkan daripada iming-iming kemenangan.

Bintangku yang jauh, mengapa jarak ini menciptakan bukan hanya rindu tetapi juga kepasrahan? Bintangku yang terang, terima kasih telah memberiku cahaya meskipun tak dapat aku genggam.

Bukan salah takdir mempertemukan, kitalah yang melangkah bersama untuk mengikis ruang. Walau tak pantas aku menerima, jangan larang aku untuk terbius oleh racikan damba yang kamu tawarkan. Pada akhirnya kamu urungkan, maka lepaskan. Tautan ini mungkin menyiksamu.

Gulana yang kuabaikan merupakan bentuk dari toleransi antara salah-benar, baik-buruk. Bukankah kesempurnaan adalah saling mengisi perbedaan dan kepercayaan?

Dan bercita-cita kesempurnaan itu bisa melampaui batas kematian.

~~~

"Mati. Kamu selalu menjual kata itu untuk membuatku prihatin." Angin laut terasa sejuk.

"Kamu yang memancingnya," protesku sambil berjalan meninggalkan pantai. Hari akan berganti malam, tenggelamnya matahari di bawah garis cakrawala menyisakan awan kemerahan di langit.

Bintang terdekat dari bumi itu telah lenyap, siap digantikan oleh ribuan titik bintang di hamparan langit malam. Meskipun galaksi bimasakti beranggotakan milyaran bintang, besaran magnitudo menyebabkan bintang-bintang lebih banyak yang tidak akan bisa dilihat oleh mata telanjang manusia.

"Kamu juga selalu menakuti dia dengan kata itu, bukan?"

"Aku tidak menjual, dan dia tidak pernah takut dengan kata-kata itu. Mungkin di benaknya hanya serupa candaan." Aku membela diri.

Nyatanya, aku kadang lepas kendali untuk mengucapkan kata mati padamu, bintangku. Sebab kepercayaanku yang sudah terlanjur tertanam, berharap kamu mengerti bahwa kamu telah menjadi salah satu arti kehidupanku saat ini.

"Mungkin kamu lupa bahwa seterang-terangnya bintang juga bisa mati." Angin seolah tahu isi hatiku.

"Aku tidak lupa. Aku hanya mengingatnya sebagai sumber cahaya."

"Beri tahu aku tentang rahasia bintang yang lain."

"Kamu membaca pikiranku?"

Angin terbahak, "Sudah kubilang, aku adalah temanmu yang paling setia. Saking setianya, apa yang belum kamu ucapkan aku sudah bisa menduga."

Aku ikut tertawa. "Aku sering marah padamu, tapi mengapa kamu masih juga mau bersama."

Angin mencibir, "Dasar tak tahu terima kasih. Selain cahaya, kamu juga butuh udara."

Tak butuh waktu lama, aku telah sampai di tempat tinggalku. Masih bersama angin yang kini semilirnya bisa kurasakan saat kubuka jendela kamar.

"Kamu tahu umur suatu bintang?"

"Mana kutahu."

"Seperti itulah mungkin ikatan yang terjalin antara aku dan dia."

"Apa hubungannya?"

"Semakin besar ukuran suatu bintang, semakin cepat dia mati. Aku takut besarnya perasaan rindu yang kubina untuknya ini, semakin lekas rindu itu sirna." Aku menekan dadaku yang mulai terasa sesak.

"Tapi ada kemungkinan yang lebih buruk dari itu."

Aku duduk di ranjang, mengecek layar smartphone dengan harap ada notifikasi pesan yang kutunggu. Tak ada. Padahal, belum ada hitungan sehari, tapi mengapa kamu selalu berhasil membuatku terus merindu.

"Apa?" Aku sebenarnya sudah bisa membaca kemungkinan itu.

"Bintang itu akan menyinari yang lain."

Aku tersenyum meski pampat terasa di rongga dada. "Itu risiko yang harus kuterima. Bintang hakikatnya memang bersinar tanpa peduli siapa yang dia sinari."

"Kamu rela?"

"Itu bukan tawaran, tapi akibat dari keputusanku sendiri."

"Harusnya dialah yang kamu salahkan." Angin mulai memprovokasi.

"Aku menggeleng, dia tidak akan datang jika aku tidak menyambutnya."

"Kenapa kamu menjadi bodoh."

"Sejak kapan aku pintar?"

Angin menggeleng-geleng, lalu rebah, menumpang tidur di ruang kamarku.

Membiarkan angin terlelap, aku menarik napas setidaknya merasa lega terjeda dari ucapan-ucapannya yang selalu menuntutku.

Bintangku, aku berbisik seraya menatap langit dari kaca jendela yang tirainya kubiarkan terbuka.

"Jika mencintaimu adalah hukuman, maka hukumlah aku."

⭐️CU
17 Rajab 1445/29-1-2024

Semesta KitaWhere stories live. Discover now