🌹Bunga

21 4 1
                                    

Tak akan pernah selesai berbicara tentang takdir. Segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi terangkum dalam kekuasaan-Nya. Sepanjang sejarah umat manusia, lahir berbagai pemikiran. Doktrin takdir yang menjadi konsep keadilan atau bahkan pengingkaran atas ketidakadilan. Ada tikungan pada takaran kebebasan manusia dalam memilih. Ada tawaran untuk menjadi hamba yang terpilih.

Aku di persimpangan. Banyak jalan yang bisa kulalui untuk menuju setiap jalinan takdir. Tidak sebanyak keinginanku untuk berdiri dari posisi terpuruk dan bercengkerama dengan tanah merah.

Kali ini, ragaku teronggok di tengah lajur-lajur taman tak beraturan dengan warna ungu yang dominan.

Di antara jutaan lavender yang tumbuh bersama semak, ada jalan setapak yang berujung pada sosokmu yang berjalan mendekat. Sosok yang mengusirku dan menyuruhku kembali ke jalur yang benar, menurutmu. Kamu mendekat karena keluhan-keluhanku yang tak kunjung usai. Barangkali, kamu ingin menenangkanku sebelum akhirnya benar-benar pergi.

Jangan pergi. Hanyalah bisikan egois yang cuma menjadi cangkul untuk menggali parit di antara kita semakin dalam. Maka, aku hanya diam menyaksikanmu berangkat dan kembali.

"Bangkitlah!" Tanganmu terulur.

Aku ingin sekali menyambut genggamanmu, tetapi mustahil. Tepat saat kuangkat tangan dan menengadah ke wajahmu, wujudmu sudah menghilang. Hanya ada hujan petal mawar berwarna gelap turun dari awan yang saling bergelut. Aku bangkit. Menghadang helai-helai yang sebenarnya tak kuharapkan. Akan tetapi, aku tetap menghimpun sebanyak-banyaknya karena aku tahu hujan ini adalah wujud perasaanmu padaku.

Entah tunggal seperti bunga matahari, atau majemuk umpama bunga desember, bunga dalam hatiku hanya satu tangkainya. Kuizinkan bersemi hanya untuk satu putik. Kulindungi sampai kesempatanku untuk menjaganya telah habis.

Entah sudah berapa kali kudengar bisikmu yang mengabarkan tentang kisah kita esok, tak mungkin bersama. Hanya saja, aku telah porak-poranda dalam jajahan kasihmu. Aku pernah dengan suka rela menanti curahan perasaanmu yang datang seperti hujan, aku pun kuyup tak bisa menepi dan berteduh.

Di tengah wangi dan rupa manis, lavender menyimbolkan kedamaian, kesunyian, dan penyembuhan.

Kita duduk berhadapan di antara jarak yang tak punya temu. Kamu ajukan sebuah penawaran yang membuatku menahan diri untuk tidak menyalahkan.

"Maafkan aku yang tak tahu diri. Jika sejak awal aku tak cuma tahu kita tidak mungkin bersama, tetapi juga aku telah menjadi orang ketiga dalam ikrar sucimu. Mungkin, aku tak akan senekat ini mendeklarasikan rasa."

Kamu tertawa. Katamu, aku demikian lucu.

Candaan itu berlanjut melupakan ketegangan yang sempat membuatku menyerah. Mengira bahwa ikatan itu akan putus dengan jejak dendam. Aku sungguh tak mau jika harus melambaikan tangan sendirian. Aku benar-benar tak rela jika rasa bahagia yang terjalin masif hanya menyisakan kebencian.

Di perbatasan siang dan malam yang kelam, kamu menutup prasangka zalimku dengan sebuah bingkisan.

Mawar kamu suka karena simbol yang universal. Kusebut itu sebagai keindahan dan keberanian.
Cahaya kamu suka sebagai pelengkap dari temaram. Kusebut itu energi kasat mata yang memberikan kehidupan di kegelapan.

Terima kasih, lagi-lagi hanya itu yang bisa kuucapkan padamu. Tak peduli jika akhir kita hanya sebatas semu, aku beruntung menemukan puzzle yang hilang dalam kisah hidupku. Pada kisah ini, ada hikmah yang belum pernah kujumpai sebelumnya. Tentang rasa menerima dan kerelaan. Bahwa cinta bukanlah jalan paksa untuk bisa bersama.

Aku teringat kalimat yang pernah kusangsikan, menahan rindu dan mati karena menjaga cinta tetap suci adalah perjuangan yang berujung pada kenikmatan hakiki. Kini kurasakan betapa hebatnya godaan itu. Pantas saja dikatakan syahid, hadiahnya surga.

Dalam kegundahan yang terpilin bersama kelegaan, komunikasi kita kembali berjalan. Aku tahu ada batas waktu. Namun, jangan cerabut fantasiku. Biarkan bunga-bunga itu menyeruak dan membuatku pengar. Tak ada cara lain untuk menolak kecuali menjaga diri untuk tetap tegar.

Aku yang tak pernah merasakan kedalaman sebuah keputusan untuk mencintai. Tak pernah ingin menepi bahkan dari rasa sepi.

Kamu adalah guru yang mengajarkanku untuk mencintai dengan ketegasan. Meski berkali-kali nilaiku tak lulus kriteria ketuntasan minimal, kamu tetap bersabar suatu saat aku bisa lulus dengan nilai yang bagus.

"Beri kabar padaku jika suatu saat kamu bahagia bersama yang lain. Akan kukirimkan bunga yang paling kusukai untukmu." Kata-katamu selalu konsisten setiap meramal kehidupanku di masa depan.

Aku menggeleng tak setuju. Aku tak suka membahas hal tidak pasti di saat perasaanku sedang terpenjara.

"Aku yakin kamu pasti bahagia nanti," doamu meluncur setenang permukaan bejana embun yang berdiam semalaman.

Aku tak yakin, jika bahagia yang kamu maksud adalah kebersamaanku dengan pria lain.
Apa aku tak percaya takdir? Bukan. Aku hanya malas berpikir. Merasa bahwa catatan kebahagiaan manusia berbeda-beda. Tidak dalam satu hal, mungkin dalam hal lain.

"Aku juga ingin kamu hidup bahagia."

🌹CU
12 Sya'ban 1445/22-2-2024

Semesta KitaWhere stories live. Discover now