kelinci paruh waktu dan roti lapis yang tersenyum.

417 49 73
                                    


Halo? Ini Sabian.

Biasanya Amora yang cerita sama kalian tentang gue, ya? Oke, sekarang giliran gue.

Sebenarnya, gue nggak yakin Amora sudah cerita apa saja terkait kita, atau bagaimana perjalanan kita dari sudut pandangnya. Tapi, tugas gue di sini bukan untuk membahas tentang kita.

Gue akan bercerita tentang Dia.

Bermula dari pertemuan kita di lokasi paling klise, tapi cukup diluar prediks gueㅡsatu bangku kuliah. Bahkan, kalau harus jujur, gue sebenarnya nggak pernah berencana untuk reuni lagi dengan Dia. Tapi, kebetulan demi kebetulan membawa benang merah gue kembali masuk ke gulungan takdir Dia. Jadi, di sinilah kita sekarang.

Dia mungkin paham alasan utama gue masuk jurusan psikologi adalah untuk menyelamatkan diri, dari rumah, dari diri gue sendiri. Meskipun nggak gue ungkapkan secara tersurat, tapi Dia sudah pasti menangkap pesan tersirat gue. Makanya gue nggak bisa bohong sama Dia karena; wajah gue terlalu jujur dan Dia kelewat peka.

Eh, bukan berarti gue suka bohong, ya! Sabian Pramudya sudah teruji klinis sebagai gentlemenkata Dia. Dan inilah yang paling bikin gue sayang sama Dia.

Perlakuan-perlakuan kecil yang penuh perhatian, kalimat-kalimat singkat yang sarat arti, kelana-kelana dekat yang mendunia, Dia dan segala kesederhanaannya dalam menerima gue utuh-utuh.

Terkadang, kalau hanya ada kita berdua, gue bisa diam dan menghabiskan waktu sekian jam untuk memandangi Dia melakukan kegiatan apa pun. Mulai dari tidur, merapikan rak buku, menyiram bunga mawar yang hampir layu, membuat susu stroberi, sampai marah-marah karena salah tingkah, "Bin, kamu kenapa sih, lihatin aku begitu? Ada apa di wajah aku?"

Padahal gue hanya sedang rehat dari kebisingan bumi dengan menghargai dunia yang ada di hadapan gue.

Kalian pernah dengar nggak, gombalan populer yang kurang lebih seperti ini;

"Mor, kalau kamu beneran sayang aku, coba teriak, biar satu dunia tahu."

Lalu apa yang terjadi? Benar sekali kawan, Dia langsung berteriak keras-keras, "Aku sayang Binu!" I mean, well, that's very Amora of her. Beruntung saat itu posisi kita sedang di lapangan terbuka yang nihil penduduk.

"Kamu gimana, Bin? Berani kasih tahu satu dunia juga?"

Pada detik itulah sisi pendekar picisan gue mengambil shift. Gue menarik napas panjang sambil membentuk pengeras suara imajiner menggunakan kedua telapak tangan, bersiap menggemparkan lima benua.

Tapi, yang Dia terima hanya bisikan lembut yang gue sisip di telinganya. "Aku sayang Mora."

Untuk apa gue heboh berteriak, sementara dunia gue punya dua telinga yang selalu bersedia mendengar gue?

Jiakh. Ternyata gue romantis juga, iya 'kan, iya 'kan?

Selain senang menyaksikan Dia salah tingkah nggak keruan, gue juga bahagia setiap melihat senyum Dia. Senyum yang kadang kala perlu diselidik terlebih dahulu kronologi dibaliknya. Pasalnya, ceria-ceria dan pura-pura Dia nyaris tiada beda. Gue sampai berencana studi di luar negeri demi menguasai detail perbedaan pada mikro ekspresi manusia. Gue benci diri gue ketika terlambat menyadari kalau Dia sedang nggak baik-baik saja.

Kita pernah bertengkar akibat kasus seperti itu, dan itu resmi menjadi perselisihan dengan durasi paling alot dalam rekor kita.

Kalian harus tahu bahwa gue memang keras kepala dan hobi berdebat sama siapa pun, kecuali sama Dia. Tapi, hari itu, sepertinya gue sudah terlalu lelah, kemudian lepas kendali.

Paramour Parade [TXT Soobin]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu