merah, mabuk, ikatan tak terlepas.

143 16 8
                                    


Kali keempat, sudah kali keempat seorang Gyandaru Mahija mengutarakan cinta kepada sang pujaan hati yang tak kunjung luluh jua. Nama tak perlu disebutkan, kalian pun pasti sudah bosan.

Pertama, tidak dijawab. Kedua, dianggap angin lalu. Ketiga, dialihkan ke lain tema. Keempat, tepatnya kemarin malam, Herlin akhirnya memadamkan perasaan Gyan secara lugas.

"Maaf, Gy. Daripada lo terus-terusan begini, lebih baik gue tahan lo sampai di sini. Gue beneran nggak bisa nerima lo sebagai pacar gue. Bukan salah lo, memang gue yang masih belum siap. Maaf."

Demikian menjadi sesi percobaan terakhir si pemuda rambut panjang yang kusut tak tertolong.

"Shit lah, ngapain gue patah hati padahal belum juga pacaran!?" Berikutnya rombongan umpatan dan geraman Gyan terendam di balik bantal tidurku.

Jam sebelas pagi Gyan dan karung berisi misuh-misuhnya sudah datang sebagai tamu tak diundang di kamarku.

Jika sudah seperti ini, aku hanya bisa duduk memeluk Kinci dan menyaksikan bagaimana Gyan mengantukkan kepala berulang kali ke bantal. Sesekali gulingku yang tak berdosa juga dijadikan samsak. Dasar tukang aniaya.

"Lagian lo berharap apa sih sama Herlin misalkan pun kalian bisa pacaran?" Akhirnya pertanyaan itu lolos setelah setengah jam mulutku hanya menguapkan sisa kantuk.

"Iya, bisa apa aja. Gue hanya mau jadi pacar yang baik buat dia, bisa manjain dia, bisa bikin dia happy. Sesederhana itu."

"Terus apa benefit lo jadi pacar dia?"

Ada ketidakpercayaan yang muncul dari cara Gyan menatapku setelahnya, seakan ada cibiran, "dasar manusia pamrih."

"Gue nggak berharap apapun dari dia, Kak. Serius. Dia terima perasaan gue pun udah lebih dari cukup."

"Itu artinya lo bukan jatuh cinta, dodol. Lo udah sinting," sekalipun kami sering adu mulut, tetapi baru kali ini aku berani menyumpah di depan wajahnya tanpa bumbu jenaka.

"Apa yang lo harap bisa berubah selain status kalian? Pada akhirnya perasaan lo akan tetap bertepuk sebelah tangan, 'kan? Lo hanya akan berjuang sendirian, 'kan?"

Seluruh sudut kamarku menjadi titik fokus Gyan, kecuali mataku yang sarat kejujuran (dan kejengkelan, tentu saja).

Andai dibiarkan lolos lagi, bocah sinting satu itu mungkin saja akan melakukan percobaan ekstrem lainnya hanya demi mendapatkan penerimaan dari Herlin.

Dan sebagai rekan yang tumbuh mendewasa bersamanya, aku sudah cukup muak melihat bocah itu menjadi pengemis afeksi dari seseorang yang bahkan tak menyediakan kursi untuk keberadaannya.

Andai cinta yang dirasakan Gyan benar sebegitu megahnya, seharusnya dia tidak butuh memonopoli perasaannya sampai bangkrut mampus seperti sekarang ini.

"Sayang, cinta itu berdiri sendiri. Boleh rapat disimpan, boleh pula dibagikan. Tapi, yang menanggungnya hanya diri kita sendiri."

Perkataan Mama nyaris membuat nasi dalam mulutku menyembur. Jarang sekali hadir petuah di meja makan siang kami.

Gyan masih mengaduk-aduk lesu nasi yang tersiram kuah sayur lodeh di piringnya. Orang sakit sekalipun tidak akan nafsu melihat porsi makan bocah itu.

"Tapi, Gyan beneran sayang sama perempuan ini, Ma."

"Iya, iya, Mama ngerti."

Oh, ternyata Gyan dan Mama sudah lebih dulu menggelar jamuan teh panas tadi pagiㅡsebelum Gyan merengek di kamarku. Pantaslah Mama bisa membaca situasi.

"Nggak semua orang kasusnya seperti Kak Mora sama Bang Bian, Ma. Mereka sih, mau mesra-mesraan tanpa status juga nggak masalah. Kalau Gyan yang begitu, bisa-bisa Gyan dijadiin patung."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Paramour Parade [TXT Soobin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang