lekat kemarau pada kisah cinta putih abu-abu.

292 42 34
                                    


"I'm socially awkward, don't you think?"

"Speaking about me?" Senyum tipis Herlin muncul bersamaan sarkasme yang ditumpahnya. "Memang aku belum kenal kamu sejauh itu, tapi kamu bukan tipikal pembangun benteng seperti aku, Mor."

"Pembangun benteng?" Bagai menumpangi gerbong kereta dengan perhentian unik-unik, konversasi bersama masinis Herlin selalu menjadi kelana waktu nan ciamik. Usia pertemanan kami bahkan belum menginjak satu semester, namun lembaran kami merekat lebih cepat dibanding estimasi siapa pun.

"Ada kalanya aku merasa terjebak dalam situasi kurang bersahabat. Itulah kenapa sejak awal aku berupaya membangun benteng yang kokoh, yang nggak mudah diterobos orang asing, demi rasa aman untuk diriku sendiri."

Entah mengapa hal itu terdengar wajar bagiku. Terlebih, kisi-kisi yang diberikan Herlin terkait persaingan akademik dengan saudara kandungnya terbilang ekstrem. Herlin menjadi sangat ambisius dan perfeksionis perkara studi.

Sah dibilang, Herlin hampir kehilangan seluruh masa putih abu-abunya yang meriah akibat tuntutan nilai yang tak boleh tertoreh tinta merah.

"Sebagai seseorang yang mendalami psikologi, pandangan kamu sama fenomena ini gimana, Mor?"

Adalah pertanyaan paling general yang rutin kudengar pasca identitas mahasiswa ilmu kejiwaan tersemat di dahi. Tak jarang yang meminta ditebak-tebak kepribadiannya bahkan diramal apa isi pikirannya, ck, dikau kira hamba cenayang?

"Aku belum tahu apa yang mengakari masalah kamu, Lin. But, one thing undoubted, satu manusia memang lebih kompleks dari jagat raya. Fisik dan psikis kita saling terikat, dinamis. Terkadang kita, sang pemilik keduanya, belum tentu bisa memahami mereka seutuhnya."

Jemari Herlin menyisir rambut pendeknya santai. "Benar. Aku belum banyak mengenal diriku sendiri, jadi yang bisa aku lakukan hanya mendorong orang lain dari teritoriku."

"Termasuk Gyan?"

Ekspresi Herlin nyaris tak berubah, bukti konkret bahwa Gyan bukan subjek yang membuat punggungnya tersentak mundur atau aktivitasnya terjeda. Aku menjadi penasaran, seperti apa Gyan dari pantulan cangkir gadis kutub ini?

"Iya, termasuk Gyan. Kamu pasti kecewa ya Mor, sama pernyataanku?"

"Karena Gyan sahabat aku? Of course not," aku tergelak ringan sambil mengibas tangan. "Kamu punya hak untuk membentuk kehidupan sosialmu. Pasti ada alasan untuk itu."

"Kalau alasanku agar Gyan cepat berhenti? Gimana?" Sekadar informasi, nama tengah Herlin adalah terus terang.

"Cara Gyan mengejar kamu annoying banget, ya?"

Diluar estimasi, Herlin justru menggeleng. "Honestly, I feel unbothered with it. Hanya saja, aku nggak ingin memberi dia harapan sekecil apa pun. Lebih kejam kalau dia sudah berekspektasi macam-macam, sedangkan aku ternyata hanya main-main."

Alasan yang cukup visioner sekaligus spesifik. Saraf penasaranku semakin tergelitik.

"Lin, have you met your first love?"

Mungkin memori-memori kelam Herlin terkunci rapat di alam bawah sadarnya, sehingga beberapa tindak defensif dikerahkan semata demi melindungi luka-lukanya dari basuhan garam.

"I did in highschool. And I was the Gyan in that story. Lucu, 'kan?"

Ah, itu dia.

Membangun benteng menjadi krusial bila kita ingin memisah area antara apa yang patut disembunyi dan apa yang perlu dunia ketahui. Beruntung, Herlin membiarkan aku masuk tanpa perlu bersusah payah memanjat bentengnya.

Paramour Parade [TXT Soobin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang