11. Apartemen

3.2K 485 38
                                    

"Kamarnya ada dua, tapi yang satu masih kosong."

Setelah resepsi selesai, Tara dan Jioon sama-sama sepakat untuk langsung ke apartemen. Tak mempedulikan godaan dari keluarga dan kerabat yang mengira ke arah lain, tujuan mereka untuk segera pindah ke apartemen agar mereka dapat tidur di kamar yang berbeda.

"Lo pake aja kamarnya," kata Jioon. "Gue di ruang tengah dulu buat sementara."

"Nggak usah. Gue aja yang di sofa." Dengan cepat Tara mengambil alih koper yang dibawakan oleh Jioon. Menyimpan barang-barangnya di dekat rak televisi.

Jioon menghela napas. Dengan cepat ia kembali mengambil alih koper untuk disimpan ke kamar yang sudah rapi. "Pindah, Ra," perintah Jioon saat Tara sudah siap berbaring di sofa ruang tengah.

"Gue di sini aja. Ini apartemen lo, ya kali gue yang di kamar--"

"Ini bukan punya gue, apartemen ini punya kita." Dengan cepat Jioon menyela perkataan Tara. "Besok gue beli kasur buat kamar sebelah, cuma malem ini gue di ruang tengah, jadi lo nggak perlu ngerasa sungkan."

Tara tak mempedulikan penjelasan Jioon. Tubuhnya sudah berbaring di sofa hitam ruang keluarga. Tangan kanannya menutupi mata, berusaha untuk terlelap karena sudah terlalu lelah.

"Gue nggak mau tau, lo udah harus pindah ke kamar setelah gue mandi," ucap Jioon yang akhirnya menyeret koper Tara, menyimpannya di dalam kamar, dan setelah itu ia bergegas untuk membersihkan diri.

Tanpa bisa dikendalikan oleh Tara, air matanya mengalir, membuat sungai kecil di pipi. Ia bahkan berusaha untuk menahan suara dan isakkannya.

Akhir-akhir ini hidup Tara benar-benar terasa berat. Mengetahui fakta bahwa ia menjadi jaminan untuk perusahaan ayahnya saja sudah menjadi beban pikiran, lalu ditambah dengan kehadiran Mahesa yang ternyata sepupu Jioon.

"Kamu bisa nunggu aku? Karena kamu nggak mau LDR, tunggu aku selesai kuliah di Jepang, ya. Cuma 5 tahun, atau mungkin lebih cepat."

Perkataan Mahesa saat akan pergi ke negeri matahari terbit itu kembali berputar di kepalanya. Bagaimana bisa ia melupakan janji yang diminta lelaki itu.

Tara menggelengkan kepalanya. Berusaha mengusir perkataan Mahesa tiga tahun lalu dan tatapan mata lelaki itu siang tadi.

"Udah, Ra. Udah ...," gumam Tara yang memaksa matanya untuk terpejam. Berharap semua beban itu ikut hilang dan esok akan baik-baik saja.

Jioon keluar dari kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur. Helaan napas berat terdengar jelas kala ia melihat Tara sudah terlelap di sofa hitam depan televisi. "Kepala batu," omel Jioon. Lelaki itu nyimpan asal handuk di kepala, lalu membopong Tara pindah ke kamar utama.

Sebenarnya Tara belum tertidur dengan pulas. Ia merasakan tubuhnya yang melayang, tetapi untuk menghindari kecanggungan diantaranya dan Jioon, pura-pura terlelap adalah pilihan yang tepat.

Tak banyak berkomentar, Jioon membaringkan Tara di tempat tidur, menyelimuti istrinya, memastikan posisi perempuan itu nyaman. Setelah semuanya selesai, ia langsung keluar dari kamar. Helaan napas untuk kesekian kalinya ia keluarkan.

"Ini baru awal, Ji."

***

"Heh, gue di man-eh, oh iya." Serangan jantung dadakan Tara langsung sirna saat kewarasannya sudah terkumpul. Suasana baru saat membuka mata tentu saja membuat ia panik. Untung saja ingatannya masih cukup baik. "Jam berapa ini?"

Tara beranjak dari posisi tidurnya, melangkah keluar dari kamar. Suasana sepi apartemen langsung menyambut. Dapur berantakan menjadi objek utama yang matanya tangkap, belum juga selimut dan bantal sofa yang berserakan di ruang tengah.

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang