15. Prasangka

2.6K 438 30
                                    

"Gaji gue bulan ini." Jioon menyodorkan amplop coklat di tangannya kepada Tara. "Lo aja yang atur."

Tara dengan ragu membuka amplop coklat itu. Lembaran uang seratus ribu langsung menyambut, tetapi ia yakin jumlahnya jauh dibawah uang bulanan yang biasa Bunda berikan.

"Gue tau itu nggak banyak, nanti gue usahain cari tambahannya."

"Cukup, kok," ucap Tara cepat. "Kakak ada buat uang bensin?"

Jioon mengangguk. "Ada," jawabnya sebelum beranjak dari meja makan. "Lo udah makan? Gue laper banget."

"Mama ngirim bumbu sama bahan buat bikin soto, tapi gue nggak tau cara masaknya," ucap Tara. "Tadi gue makan sama ayam bumbu yang minggu kemarin, cuma sekarang udah abis."

"Ada nasi, kan? Lo mau makan lagi?"

Mata Tara melirik sekilas pada jam dinding. Hampir tengah malam, seharusnya ia tak menerima asupan apapun. "Boleh," jawab Tara yang ikut bergabung dengan Jioon di dapur apartemen. "Lo mau bikin apa, Kak?"

"Soto yang Mama kasih. Itu bumbunya bukan bumbu kemasan, jadi harus cepet-cepet dimasak."

Dengan sigap Tara mengeluarkan plastik putih berisi bahan-bahan membuat soto. Di dalamnya sudah lengkap dengan bumbu, daging, bahkan bawang gorengnya.

"Mama tau menantunya kagak bisa bisa masak," ucap Jioon yang tiba-tiba saja tertawa. Ia mengulurkan kertas yang dilapisi plastik bening yang langsung menyambutnya saat plastik putih itu dibuka. "Dikasih step by step-nya dooong."

Kertas yang dilindungi plastik itu terdapat tulisan tangan tentang cara membuat sotonya. Tara tak mempedulikan tawa meledek Jioon, fokusnya tertuju pada pesan yang ditulis oleh mertuanya.

Mama pasti sangat kerepotan, beliau harus menjamin makanan yang diterima putranya tetap nikmat, tetapi sayangnya ia memiliki menantu yang tidak pandai memasak.

"Lo bisa bikinnya, Kak? Nggak perlu tutorial dari Mama?"

Dengan angkuh Jioon menganggukkan kepalanya. "Gampang, sambil merem juga gue bisa," ucap Jioon sembari menepuk pelan dada kirinya.

Terlalu malas meladeni keangkuhan suaminya, Tara memilih untuk menggoreng kerupuk. Setidaknya ia ada kegiatan dan tidak terlihat seperti orang bodoh.

"Eh, Ra. Pak Haris sering berkeliaran di Fisip, nggak?"

"Pak Haris Aminuddin? Dosen pengantar ekonomi anak semester awal itu."

"Lo sering liat dia?"

"Nggak," jawab Tara. "Emang kenapa?"

"Dospem gue, mau nanyain hasil revisan."

"Lah, chat aja, sih."

"Kagak dibales," jawab Jioon. "Gue datengin ke kampus, kagak ketemu, nggak tau deh dia ngumpet di kelas mana. Heran, bagian mau semangat skripsian, malah kena ghosting."

Tara tak bisa menahan tawanya. "Gue sering liat ngajar anak semester awal, tuh. Nanti gue kasih tau, deh kalo liat Pak Haris."

Jioon mengangguk. Kuah sotonya sudah mendidih, ia bergerak untuk mengambil mangkuk. "Ambil nasi, Ra," titah Jioon. "Kerupuknya jangan banyak-banyak, nanti malah gue camilin, terus lo ngomel gara-gara nggak ada kerupuk buat makan."

Tinggal di tempat yang sama membuat keduanya saling mengetahui tentang kebiasaan masing-masing. Seperti Tara yang wajib makan dengan kerupuk, sedangkan Jioon adalah manusia yang tak akan berhenti mengunyah apabila masih melihat makanan yang bisa ia telan.

"Oh, iya. Besok lo ada jadwal ke kampus?"

"Kagak," jawab Tara yang mulai menikmati kuah soto yang dicampur dengan nasi panas.

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang