45. You Are Enough

3.1K 501 100
                                    

AR Tower di jam makan siang tentu tak akan sepi. Beberapa orang hilir mudik di area depan, entah untuk mengambil pesanan makan siang, atau berencana makan di luar. Terik matahari bahkan tak menjadi penghalang dan jalanan yang padat di depan gedung semakin menambah keramaian.

"Mohon maaf, tidak bisa, Mas."

"Saya cuma titip makan siang buat Ghista!"

Pria berseragam security itu mengangguk paham, berusaha untuk tetap ramah sesuai dengan prosedur pelayanan. "Mohon maaf, Mas. Mbak Ghista berpesan pada kami untuk tidak menerima kiriman dari siapapun," jelasnya seramah mungkin, tangan kanannya bahkan menyilang di dada kiri, dengan tubuh berkali-kali membungkuk kecil. "Sekali lagi mohon maaf, Anda bisa bawa kembali makanan itu."

"Perlu saya kasih langsung ke dia?" Kedua lengan Mahesa sudah berada di pinggang, lelaki itu menatap tajam security yang sejak setengah jam lalu menolak titipannya. "Saya keponakan Pak Arjuna. Perlu saya hubungi paman saya?" tanyanya dengan alis kanan yang menukik.

Pak Rio masih tetap menggeleng. Banyak yang sering mengaku-aku sebagai kerabat dari petinggi AR Tower, padahal sebenarnya tidak. Lagipula keamanan karyawan lebih diutamakan daripada tamu yang tidak jelas. "Saya hanya menjalankan tugas sesuai dengan prosedur dan permintaan dari Mbka Ghista."

"Saya telepon Om Juna sekarang." iPhone yang awalnya di saku kini sudah berada di tangan Mahesa, lelaki itu mengutak-atik ponselnya dengan satu tangan, mencari kontak suami dari kakak mamanya. "Cuma security, tapi songongnya minta ampun."

Di pintu masuk luar, Jioon yang baru tiba setelah berdesakan membeli titipan makan siang karyawan seketika terdiam. Matanya sedikit menyipit untuk menajamkan penglihatannya tentang makhluk hidup yang tak asing. "Echa ...," gumamnya sembari berjalan mendekati meja security di depan pintu lobi.

Lelaki berseragam biru muda itu semakin mendekat. Langkahnya seketika terhenti di belakang Mahesa saat mendengar percakapan sepupunya dengan seorang melalui panggilan suara yang di-speaker. Papa? batinnya yang tentu langsung familiar dengan suara orangtuanya.

"Iya, Mahesa itu keponakan saya, izinin aja dia masuk--"

Ponsel di tangan Mahesa seketika Jioon rebut. Lelaki itu dengan lancang memutus panggilan suara di handphone sepupunya. "Saya nggak kasin izin orang ini masuk," ucapnya setelah mengembalikan ponsel Mahesa dengan kasar. "Orang yang tidak berkepentingan dan tidak memiliki janji, jelas tidak bisa masuk ke dalam AR Tower dengan sembarangan."

Alis kiri Mahesa kembali menukik. Bibirnya terlipat ke dalam saat melihat seragam yang dipakai oleh kakak sepupunya. "Office boy?" Mata lelaki itu melirik Jioon dari bawah ke atas, lalu diulangi beberapa kali. "Apa office boy memiliki wewenang untuk melarang bagian dari keluarga perusahaan untuk masuk ke dalam?"

"Tentu!" jawab Jioon lantang. "Saya karyawan di sini, saya memiliki akses masuk, dan saya memiliki wewenang untuk meminta siapa yang boleh dan tidak untuk masuk ke dalam AR Tower."

"Office boy?" Mahesa masih terus mengulang pekerjaan Jioon. Menekankan siapa lelaki itu di perusahaan ini. "Anda office boy," lanjutnya bahkan menggunakan bahasa formal.

Sudut kiri bibir Jioon tertarik ke atas, wajahnya sedikit mendekat pada Mahesa. "Jelas Anda tahu siapa saya," balasnyatak kalah menantang. Sebelum lanjut dengan masalah Mahesa, Jioon lebih dulu menoleh pada Pak Rio yang menatap bingung perdebatan antara ponakan dari pemilik perusahaan dengan office boy baru di perusahaan. "Pak Rio maaf, tolong kasih pesanan ini ke lantai 11. Yang palasik putih punya divisi PR, yang item punya Marketing sosmed." Tanpa peduli dengan penilaian security berkisar kepala empat itu, Jioon menyerahkan dua plastik besar padanya. "Urusan laki-laki ini biar sama saya."

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang