Twenty Two

2.4K 402 62
                                    

Veronica dan Stevan sudah tiba di Indonesia, sesuai apa yang direncanakan. Di ruangan rawat inap khusus rumah sakit, ada empat orang yang berada didalamnya.

Karin masih setia memeluk Chika, dan sang kakak mencoba menenangkan adiknya. Disebelahnya lagi ada Ara yang masih setia duduk sembari mengusap tangan Chika setelah membantunya makan dan minum obat.

Chika hanya tersenyum tipis melihat orang-orang disekitarnya yang terlihat sangat khawatir. Chika akan menyesal jika meninggalkan mereka begitu saja.

Tatapan mata Chika jatuh kepada Brielle yang tertidur di sofa. Lagi-lagi senyumnya terangkat. Brielle terlihat sangat kelelahan. Sahabatnya itu benar-benar selalu ada dan Chika tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya.

Tiba-tiba ruangan dibuka. Chika, Karina, dan Brielle sangat terkejut dengan kehadiran mereka. Berbeda dengan Ara yang tidak bereaksi apapun.

Suasana ruangan VVIP berubah menjadi tegang karena kehadiran 4 orang yang sangat tiba-tiba itu.

Veronica, Stevan, Shani, dan Gracio.

Melihat aura amarah yang terpancar dari mereka, sontak Karin menggenggam tangan Chika erat. Sangat erat. Chika mencoba memberikan ketenangan dengan mengusap ibu jarinya pada tangan Karin. Tangannya sakit, namun Chika bisa merasakan ketakutan yang adiknya rasakan saat ini.

Pandangan Ara bertemu dengan Chika. Chika hanya tersenyum tipis lalu mengangguk untuk meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Ara membalas senyum Chika. Tangannya melepaskan genggaman pada Chika lalu berjalan ke arah Brielle untuk memberi ruang kepada keempat orang yang baru saja datang. Ara memang belum dikenalkan, namun ia tahu jika mereka adalah keluarga Chika.

"Apa ini yang papa ajarkan? kabur dari masalah? tidak bertanggung jawab?" ucap Stevan memulai pembicaraan.

Karina semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Chika. Air matanya sudah menetes. Ia takut. Sangat takut.

"Apa ini yang papa ajarkan juga? menjadi anak nakal yang merepotkan orang tua? jawab Karina!" nada Stevan meninggi.

"Papa!" ucap Chika. Tangannya mengusap kepala Karin yang saat ini sudah benar-benar menumpahkan tangisnya.

"Apa? kamu mau belain adik kamu itu? iya?" tegas Stevan dengan nada tinggi.

Chika semakin memeluk erat Karin yang saat ini menangis tanpa suara dan badan yang sangat gemetar karena takut.

"Chika tau pa, Karin salah. Chika tau itu," ucap Chika meredakan emosinya sembari mengusap punggung Karin.

Ara yang masih berada di sebelah Chika pun juga mengusap punggung Chika pelan untuk menenangkan.

"Kamu tau apa yang Karin lakukan itu salah Chika! lantas mengapa masih membelanya?" ucap Stevan dengan nada yang kian meninggi.

"Karin salah Chika!" sahut Shani dengan nada yang tinggi juga.

"Adik kamu itu tidak bisa didiamkan begitu saja. Mengerti?!" sahut Stevan lagi.

Chika yang sudah tidak bisa menahan amarahnya lalu memejamkan mata dan menarik nafas.

Chika melihat satu persatu, dari Stevan, Veronica, Shani, dan Gracio.

"Apa papa tidak sadar ada yang lebih bersalah disini? hubungan sebab-akibat" ucap Chika.

Mereka berempat kebingungan, tidak paham apa yang dimaksud gadis yang sedang diinfus itu.

"Apa yang kamu maksud, Chika?" tanya Stevan.

"Penyebab, penyebab mengapa Karin menjadi seperti ini" jelas Chika.

"Tentu saja karna dia sendiri!" jawab Stevan.

Chika menatap Ara, dan Ara memberikan tatapan menenangkan, setalah itu Chika kembali menatap Stevan.

"Bahkan sampai sini pun tidak ada yang paham. Karin, anak bungsu yang masih sangat perlu perhatian dari orangtua. Apakah Karin dapatkan itu? tidak. Perhatian yang seharusnya didapat juga dari orang-orang terdekat, tidak ia dapatkan. Bagaimana ini sepenuhnya menjadi kesalahan Karin, Pa?" jelas Chika.

"Tidak ada alasan orang melakukan kesalahan fatal seperti ini dengan latar belakang itu, Chika!" tegas Stevan.

"Ucap seorang pengusaha sukses yang tidak memperhatikan anaknya lagi" sindir Chika.

Stevan yang kesal mendengarnya pun lalu menaikkan suara "Jaga mulut kamu Chika!"

"Chika salah? bahkan Chika yakin, Kalian kesini datang untuk menyelesaikan masalah, karena ini akan berdampak buruk pada perusahaan papa dan ci Shani. bahkan, kalian tidak benar-benar peduli bagaimana keadaan Chika, bagaimana keadaan Karin, benar begitu? ucap Chika yang sudah tidak bisa menahan emosinya.

"JAGA MULUT KAMU CHIKA!" teriak Stevan.

"CHIKA!" sahut Shani juga.

"Jangan seperti itu, Chika," ucap Veronica.

"KAMI PEDULI!" ucap Gracio.

"Peduli apa? lebih mahal uang dan reputasi perusahaan dibanding anak, bukan begitu, Mr. Stevan?" ucap Chika lagi dengan menekankan nada.

Suasana diruangan VVIP itu menjadi semakin panas. Untungnya, ruangan ini kedap suara, sehingga tidak menganggu kenyamanan pasien lainnya.

"Kau pilih anakmu itu atau kau masih mau menjadi anakku, Karin? tentukan!" tegas Stevan.

Seseorang berusaha menahan seringaiannya dibalik perdebatan yang ada.

TBC

hehe haii, its been a long time, right?

a very very long time.

sorry guys, gantungin kalian.

anw, aku gatau kalau mau lanjut ini masih dapet feelnya atau ga. menurut kalian gimana? pasti udah lupa alurnya juga kan? jd gimana, mau dilanjut gaa? masih pada mau baca?

NYCTOPHILE [ON HOLD]Where stories live. Discover now