1

96 24 6
                                    

Sebelas tahun kemudian.
[Malam (17) baru masuk kelas 12]

Pagi yang cerah untuk semua insan di bumi, terkecuali untuk Malam. Lelaki itu sudah menekuk wajah sedari sinar matahari menghampiri matanya. Tidak bisa dipungkiri lagi kekuatannya dalam mengambek. Berhari-hari pun akan dilakukannya, apalagi jika menyangkut kesayangannya. Dan untuk kali ini, penyebabnya adalah kehilangan Mewa.

Bukan ... Mewa bukanlah seorang gadis pujaan hatinya. Mewa adalah motor besar pertamanya. Malam memang begitu, jika terlalu sayang dengan suatu barang. Ia pasti akan memberikannya nama. Bukan nama yang begitu berkesan, tapi begitulah Malam mengekspresikan dirinya. Mewa-lah salah satu buktinya, yang sebenarnya merupakan singkatan dari 'Merah Menawan'. Dan, kehilangannya menjadi alasan Malam menggerutu sepanjang minggu ini.

Bahkan untuk hari ini, hari pertama Malam menginjakan kaki di sekolahnya sebagai agit. Ia masih enggan memberikan senyum tipis yang biasa ada di parasnya. Hal itu juga diperparah dengan situasi saat ini. Bukannya menikmati waktu dengan teman seangkatannya dalam upacara sambutan agit Platina Raya. Ia justru terpaksa menyibukan diri dengan tumpukan berkas yang harus dibawanya.

"Tolong ingatin gue kenapa mau aje ikut beginian," sinis Malam pada teman di sebelahnya. Walau dengan banyak keluhan dan erangan, Malam masih melakukan tugasnya. Tanpa hati dan dengan begitu kasar, ia menyatukan tumpukan kertas yang berserakan itu.

Sebuah pukulan pun mendarat di tangan Malam hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. "Malam! Jangan gitu! Ntar kalau robek makin bikin ribet, tau nggak?!" omel sang teman. "Nih, ya. Gue ingetin lagi ... Lo tuh kepaksa dan gue emang mau. Jadi, lo ambil hikmahnya aja."

"Emang anjing banget yang nyaranin," umpat Malam.

Si teman langsung menghentikan semua gerakannya dan menatap Malam dengan jengkel. "Seharusnya lo terima kasih ke gue. Nilai lo jelek, terus lo tau kan sekolah kita tuh pelit nilai. Ya, bagus dong kalau gue bawa lo juga. Biar nilai lo aman."

Apa yang dibilang temannya memang jauh dari kata salah, justru malah sangat membantu. Namun, untuk pindah sementara ke sekolah lain butuh begitu banyak berkas yang harus diurus. Berkas itulah yang sedang mereka rapikan saat ini. Sungguh begitu banyak hingga mood Malam semakin memburuk. "Hoi, Neoma! Lo sadar nggak, ini tuh tahun terakhir kita sekolah, Ma. Tahun terakhir bareng anak OSIS juga," kesal Malam yang akan melewatkan banyak kenangan.

Si teman alias Neoma pun mendengus malas. "Ya lo enak-enak aja, ketua nggak ada guna. Kerjaannya having fun, lah gua yang dicariin guru mulu."

"Having fun pale lu, yang ada cuman beban."

Neoma langsung menjentikkan jarinya. "Nah tuh, lo juga bilangnya itu beban, kan? Ya, berarti bagus dong kalau kita pindah ... Oh, iya. Ntar nggak usah manggil Ma. Gue kepengen dipanggil Neo, biar nggak samaan mulu sama lo," ujarnya panjang lebar.

Malam si tukang ambekan tidak mau kalah, "Ya udah, kalo gitu gue mau panggilan baru juga," tuntutnya.

"Apaan? Mal? Lam? Alam? Udah, ah. Lo stuck sama panggilan biasa aja. Emang cuman itu doang yang paling bener," tukas Neoma tanpa ragu. Tanpa menunggu Malam, ia pun langsung berlenggang pergi menuju parkiran.

Sesampainya di halaman penuh kendaraan itu, Neoma justru kebingungan. Kiri kanan ia menolehkan kepala, mencari motor yang biasa dipakai Malam. Menyerah karena tidak kunjung terlihat, Neoma pun akhirnya bertanya, "Lho, Ma? Mewa mana?"

Lagi-lagi, Malam kembali sensi. Baru saja ia hampir melupakan Mewa, justru kepintaran temannya membawa cobaan baru. "Udah jangan dibahas, itu masih topik sensitif!" geram Malam sambil menaiki motor putih baru yang dipikirnya lebih mirip skuter mainan.

Selamat MalamOnde as histórias ganham vida. Descobre agora