6

75 21 12
                                    

Seperti biasa, Malam berjalan seorang diri dari natatorium dengan membawa sehelai handuk untuk mengeringkan rambutnya. Khusus hari ini, dia menyudahi kegiatannya lebih cepat sebab cuaca cukup dingin hingga membuatnya sedikit menggigil. Ini akan menjadi kali pertama bagi Malam untuk menghadiri 'rapat' yang diusung Yaniel lebih awal. Karena biasanya Malam sengaja datang terlambat, bahkan hanya menampakan diri di pengujung pertemuan.

Begitu sampai di depan pintu ruangan OSIS yang tertutup, langkah Malam seketika terhenti. Desas-desus dari ruangan itu menandakan telah banyak orang yang hadir. Dengan sedikit mengernyitkan alisnya, diam-diam ia menguping. Amarah si Ketos Platina langsung memuncak ketika menangkap suara yang familiar di telinganya. Untuk beberapa saat, ia menunggu. Memahami apa niat dari omong kosong seseorang di dalam sana.

"Hah? Lo mau ngarepin dia? Emang anak itu bisa apa?" tanya suara yang menantang itu entah pada siapa di dalam sana. "Kita di sini hampir setahun, jadi semua udah tau. Udah jadi rahasia umum kalau dia kepilih, gegara tampang. Lo pada liat kan gimana kating pada muji dia? Modelan nggak becus begitu bisa kepilih," kekeh dia yang di ruangan tersebut hingga telinga Malam terasa memanas.

"Gue masih curiga ntu anak punya backing-an. Bang Tama nggak, sih?" terkanya. Seketika ruangan itu riuh dengan berbagai persetujuan. "Udah dikasih 'jajan' pasti, makanya aman begitu," tawa seseorang di dalam.

Kedua tangan Malam sudah mengepal, tapi sekuat tenaga ia menunggu mereka mengucapkan sebuah nama untuk memperkuat dugaannya. Tak perlu ditunggu lama, suara yang sangat familiar itu pun menyemburkan hujatannya tanpa dosa. "Wajar, emang Rora rada gampangan sih," kekehnya menambah api di kemurkaan Malam.

Detik itu juga Malam langsung mendobrak pintu tanpa belas kasihan. Matanya menyelisik ke seluruh ruangan untuk mengingat wajah para penghianat hingga fokus terakhirnya jatuh pada pemilik suara nan familiar tadi. "Jadi begini pembuka rapat lo tiap hari? Lo ngabisin waktu mereka semua buat bahas beginian?!" bentak Malam.

Seakan dirinya manusia paling suci, dia yang baru saja dibentak memilih untuk mengelak. "Maksud lo?"

"Lo paham maksud gue,Yan!" sembur Malam dengan mengungkapkn identitas si 'suara familiar' itu. "Nggak perlu sok bego begitu," sambungnya mengecam.

"Gue saranin mending lo jaga omongan lo sendiri, Ma. Nggak usah ikut campur."

Malam tertawa sinis melihat kelakuan si wakil Ketos Varsha. "Dari awal gue udah yakin, ada yang nggak bener dari lo. Dan, akhirnya keliatan juga," akunya.

Yaniel masih melawan dengan tenang, walau sesekali terpancing amarah dari nada tinggi lawannya. "Sekali lagi gue ingatin, lo nggak tau apa-apa. Jadi, mendingan diem," ketusnya.

Kali ini, Malam mengalihkan pandangannya pada para penonton di ruangan itu. "Lo semua pada bodoh, tau nggak?!" bentaknya seraya menunjuk. "Pemimpin modelan begini yang lo ikutin? Pada punya otak, nggak?!"

Suara Malam menggelegar ke penjuru ruangan. Semua anak OSIS lain menundukan kepalanya, karena bentakan itu. Semua, kecuali Yaniel. "Ketua lo yang nggak salah apa-apa aja bisa dihina mulu. Bukan dengan orang lain, tapi dari wakilnya sendiri. Apa lagi kalian! Yakin nggak bakalan diomongin dari belakang?!!" tegas Malam yang sudah seperti melakukan pressing pada mereka semua. Karena tidak satu pun bersuara, Malam mengembalikan fokusnya ke Yaniel. "Maksud lo sebenarnya apa, Yan! Kalau nggak terima jadi wakil, bukan begini caranya. Main licik, sampe ngehasut pikiran anak-anak lain. Cuman segitu kemampuan lo?" sinisnya.

Hanya sampai di situ batasan Yaniel, karena selanjutnya ia menyerang Malam dengan sebuah pulukan tepat di rahang. "Lo makin dibiarin makin ngelunjak ye, Bangsat!" umpat Yaniel dengan meremas kerah baju lawannya.

Membiarkan pulukan tadi seakan tak terasa apa-apa, Malam hanya menepis tangan Yaniel untuk melepaskan genggaman bajunya. "Kenapa?" tanya Malam menantang. "Kan, gue cuman ngejelasin fakta. Kalau semua anak OSIS di sini bodohnya udah nggak ketulungan. Mau-mau aja ngikutin perintah dari lu," ungkapnya sembari tertawa miris.

Untuk ke sekian kalinya, Malam memandang para penonton yang terlihat cemas dan bersalah. "Pada sadar, nggak? Kalian semua tuh sama rendahnya dengan anak ini," hardik Malam seraya menunjuk Yaniel. "Udah pada terang-terangan jadi pendukung perundungan! Atau memang sebuta itu sama 'hujatan lembut' yang tiap hari kalian sebutin?!" bentaknya bertubi-tubi.

"MALAM!" teriak seseorang dari ambang pintu hingga memberikan fokus semua mata padanya.

Untuk beberapa detik, suasana menghening bersamaan dengan Malam yang mengamati dan menunggu reaksinya. Sebagai seseorang yang namanya baru saja dipakai Malam untuk membuat kekacauan ini, ia terlihat tenang tapi dengan raut wajah yang menegas. "Gue mau ngomong sama lo," kata Aurora seraya beranjak ke koridor kosong.

Tidak ada satupun yang berani berkutik hingga Malam mengeluari ruangan dengan hentakan kaki hasil amarah yang terpendam. Belum ia membuka mulut, Aurora lebih dahulu melontarkan kegeramannya. "Lo kenapa, Ma! Apa hak lo buat ngebentak mereka semua?!"

Malam langung mengusap wajahnya dengan kekesalan pada ironi ini. "Lo masih mau belain Yaniel? Untuk apa lo belain dia sejauh ini? Apa lo belum sadar kalau kelakuan yang selama ini lo terima, itu semua gegara dia?" papar Malam mencoba untuk lebih tenang.

Aurora seketika terdiam dan menunduk. Alis sebelah kirinya tampak sedikit bergerak, menunjukan kegagalannya menyembunyikan perasaan. Malam pun bersungut-sungut kala mengamati si Ketos Varsha dengan saksama. Gelagat aneh Aurora memberikan terkaan baru bagi Malam.

"Selama ini lo udah tau?" tanya Malam ragu-ragu. Melihat tidak adanya penolakan, lelaki itu pun mendengus kesal. "Kenapa lo milih diam, Ra?!" geramnya.

Kali ini Aurora yang tertawa miris. Ia mengadahkan kepalanya, menunjukan kedua mata yang berkaca-kaca dan melawan tatapan iba Malam. "Gue? Lawan siapa? Semua anak OSIS? Nggak bisa dipungkiri kalau mereka semua memang lebih milih Yaniel, Ma," jawab Aurora.

"Itu, karena nggak ada yang ngingatin mereka," timpal Malam dengan cepat. Melihat tampang si Ketos Varsha, suara lelaki itu lama-kelamaan memelan hingga terdengar serak."Nggak ada yang maju buat ngasih tau ke mereka kalau semua omongan bodoh Yaniel itu salah ... Nggak ada yang namanya pembenaran buat ngejatuhi orang lain, Ra."

Malam melihat setetes air mata mulai terjatuh pada pipi Aurora. Namun, cepat-cepat perempuan itu menghapusnya. Meskipun begitu, Malam enggan menutup pembicaraan mereka. "Salah, ya tetap salah. Mereka udah kebiasaan ngomong hal-hal jelek tentang lo sampai udah nggak bisa bedain mana yang serius, mana yang enggak," keluh Malam.

Aurora yang geram langsung menghentakan kakinya untuk menarik perhatian Malam yang hanya tertuju pada topik itu. "Tapi cara lo juga salah!" bentak si Ketos Varsha. "Lo nggak perlu bentak Yaniel depan mereka semua cuman buat buktiin argumen lo, Ma."

"Terus gue harus gimana?" tanya Malam yang sepenuhnya bingung dengan mau si Ketos Varsha. Tanpa memberikan ruang untuk menjawab, Malam menyambung perkataanya. "Iyain aja omongan mereka? Kalau itu mau lo, gue minta maaf. Gue nggak mau gabung di lingkup begini. Penuh orang-orang toxic yang nggak bisa bedain mana salah, mana benar. Semuanya cuman jadi pendukung pem-bully-an."

Dengan itu, Malam berbalik arah. Ia memunggungi Aurora dan berjalan menjauhi. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, karena teringat dengan masanya menjabat dahulu. Berkali-kali Malam ingin berbalik dan meminta maaf, tapi kekesalan lebih menguasai. Karena setelah menyaksikan semua ini, Malam merasa semua yang ada di lingkup ini tidak layak dipercaya. Bagaimana Aurora memberikan sedikit dusta di ceritanya waktu itu dan Yaniel yang bermuka dua. Semuanya membuat Malam enggan kembali ke permasalahan OSIS lainnya. Dirinya baru saja lepas dari berbagai genggaman organisasi di sekolah lamanya. Sulit bagi Malam untuk membiarkan dirinya kembali terperangkap di tempat yang serba salah.

Selamat MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang