15

21 7 7
                                    

Sudah tepat tiga bulan, Malam dan Aurora resmi menjalin hubungan. Semenjak terakhir kali Aurora menangis akibat 'rindu', Malam jadi lebih memberikannya banyak perhatian. Usahanya bukan main memperlihatkan diri sebagai bukti nyata dirinya tulus menyayangi. Hingga belakangan ini, Malam semakin sering mampir ke Varsha Mulia untuk menjemput sang kekasih sepulang sekolah. Walau jaraknya tidak begitu dekat, panas mentari rela dilewati tanpa banyak keluhan berarti.

Dan, teruntuk hari ini, Malam menyiapkan sebuah makan malam romantis untuk Aurora demi memperingati tanggal jadi mereka. Tidak lupa juga sebuah buket bunga selalu hadir melengkapi setiap upaya Malam menunjukkan kasih. Seperti yang lalu-lalu, Aurora mengamati bunga pemberian Malam. Tidak pernah sekalipun terlupakan tiap ada hari penting. Sudah begitu sering hingga toples kelopak bunga keringnya sudah terisi hingga lebih dari separuh. Merenungkan kebiasaan Malam yang menggemaskan, Aurora semakin terpesona hingga merasakan dirinya telah terjatuh amat dalam.

Namun, masih ada hal yang membuatnya gusar. Terlepas dari gelagat Malam yang kelihatan seperti orang yang dimabuk cinta, Aurora masih merasa sulit untuk mempercayai. Sebab berhari-hari, hingga berminggu-minggu, sampai akhirnya telah menyentuh sebulan, Malam masih enggan mengakui.

Ketika lelaki itu sibuk bermain dengan jari-jemarinya, Aurora terpaksa membuka pembicaraan untuk sepenuhnya melepaskan setiap kecemasan.

"Kamu tau kan, kamu bisa cerita ke aku tentang apa aja," ucap Aurora.

Masih dengan senyuman tampan, Malam pun mengangguk karena belum mengerti maksud sang pacar.

"Jadi ... Ada yang rasanya perlu kamu ceritain, nggak?" tanya Aurora memberikan kesempatan terakhir untuk Malam berkata jujur dengan kemauannya sendiri.

Mulai mengerti situasi, Malam langsung melepaskan tangan Aurora dan menegakkan posisi duduknya. Ragu untuk menjawab, karena takut salah menerka. Malam hanya menggelengkan kepalanya sebagai balasan.

"Kamu tau kan, aku sayang banget sama kamu?" tanya Aurora menjelaskan pelan-pelan. Memberikan afirmasi untuk mengingatkan Malam bahwa apapun yang terjadi, ia sangat menyayanginya.

Kembali tenang, Malam meraih tangan sang pacar. "Aku juga," ujarnya tersenyum manis. "Sayang banget sama kamu."

Lantas saja Aurora tersenyum pilu akibat nihil niat Malam untuk jujur kepadanya. "Aku selama ini nunggu kamu," lirih Aurora dengan suara parau. "Cuman kalau aku mesti begini terus, aku nggak bakalan baik-baik aja, Malam."

Mendengar Aurora memanggilnya dengan nama lengkap, Malam mendadak serius. Tanpa mengetahui inti pembicaraan, ia suka gelisah hingga membuat tangannya terasa dingin. "Maksud kamu gimana sayang?" tanyanya was-was.

"Aku nunggu kamu buat jujur ke aku ... Aku tau setiap kali kamu bilang mau futsal bareng Deni, nggak pernah kejadian, kan?"

Kelabakan untuk memilih dalih apa yang bisa digunakan, akhirnya Malam menyerah. Tanpa memberikan dusta lain, ia pun menjawab pertanyaan sang pacar dengan sebuah 'iya' yang begitu pelan.

Sembari menutupi segala emosi, Aurora mencoba untuk berlapang hati. "Kenapa kamu nggak pernah mau jujur sama aku, Ma?" tanyanya menahan sakit hati. "Aku nggak bakalan mempermasalahin kamu minum, tapi kenapa harus sembunyi-sembunyi. Memangnya kamu ngapain aja di sana?"

Dengan wajah yang tertunduk, akhirnya Malam mengaku. "Aku ... Aku malu sama kamu, Ra. Selama ini, mulai dari awal kita ketemu di Varsha, kamu taunya aku sebagai imajinasi yang aku buat. Bukan Malam anak Platina yang hampir tiap malam mabuk," urai Malam yang pada akhirnya memberanikan diri menatap sang pacar tepat di manik hitamnya.

"Aku nggak mau ngerusak pandangan kamu ke aku ... Aku takut bakalan kehilangan kamu, kalau kamu tau aku yang sebenarnya gimana."

Aurora pun mengangguk sepenuhnya memahami niatan sang pacar. Dengan air mata yang tertahan, ia mencoba untuk lagi-lagi menjelaskan. "Aku ... Bukannya mau ngelarang. Cuman yang kamu lakuin itu nggak sehat, Malam ... Kamu selalu jagain aku. Jadi buat kali ini, boleh nggak kalau aku juga jagain kamu?" tanyanya sambil mengelus tangan Malam. "Balik ke aku ya, sayang ... Cerita ke aku. Jangan lagi bikin alasan yang buat aku takut. Percuma aja ada aku di sini, kalau kamu nggak percaya sama aku, Ma."

Mendengar perkataan sang pacar, Malam akhirnya tersadar bahwa selama ini, ia juga merasa tercekik oleh rasa bersalah akibat kebohongannya sendiri. Dengan hati tenang nan damai, ia berdiri memberikan Aurora sebulan pelukan penuh kasih. Tanpa menutupi, ia pun memberikan semua cerita dengan sejujur-jujurnya. Dengan seluruh nyalinya yang tersisa, Malam berjanji untuk mengubah kelakuannya itu demi Aurora.

••••👩🏻‍💻⚜️👨🏻‍💻••••

Semenjak berjanji akan mengubah diri pada malam itu. Malam mulai handal untuk menolak ajakan Deni. Tidak lagi tiba-tiba pergi untuk minum-minum. Kini Malam mengisi waktu senggangnya dengan pergi berenang seperti yang dulu sering dilakukannya. Dan apabila malam tiba, sekarang ia jadi rutin main ke rumah Aurora. Hanya untuk sekadar bertemu dengan sang pacar atau terkadang juga Aurora mengajaknya untuk belajar bareng, walaupun sering kali diakhiri dengan banyaknya candaan.

Puncak yang paling baik dalam hubungan mereka menurut Aurora. Tidak ada lagi yang membuatnya cemas hingga hanya begitu banyak kasih sayang yang bisa diberikannya. Dan, untuk pertama kali. Malam dan Aurora pergi ditemani Neoma dan Yaniel. Kalau menurut Malam ini bisa dianggap semacam double date, karena berdasarkan pengamatannya, Neoma dan Yaniel sedang berada pada masa pendekatan. Sungguh, Aurora sempat ragu ketika sang pacar membagikan asumsinya, tapi ketika melihat secara langsung. Nyatanya, ia perlu mengakui terkaan Malam adalah fakta.

Ketika para cowok sedang pergi mengantri, tinggallah Aurora bersama Neoma yang tiba-tiba mengutarakan perasaannya. Gugup setengah mati perempuan itu, memuja-muja Yaniel hingga Aurora terkekeh. Setelah memberikan ruang untuk Neoma mengungkapkan ceritanya, Aurora pun ikut bercerita.

"Malam udah jujur ke aku soal minum," terangnya seraya meyakinkan diri.

Tidak banyak reaksi dari Neoma, karena sejujurnya Malam sudah terlebih dahulu bercerita. Seperti yang lalu-lalu, Neoma sampai gerah mendengar semua curahan hati lelaki itu. Namun, setidaknya ia bisa merasa tenang. Tidak ada lagi kebohongan Malam yang perlu dijaganya.

Merasakan sedikit antusias dari Neoma, Aurora kembali bertanya, "Gimana dia belakangan ini? Baik-baik aja kan dia di Platina? Nggak ada tiba-tiba ngabarin lagi minum, kan?"

Lagi-lagi, Neoma hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum kikuk. Kabar Malam pergi mabuk memang sudah tidak ada, tapi belakangan ini, sang teman mulai sering menceritakan hal lain yang justru menurutnya semakin aneh. Tidak banyak detail yang diberikan Malam hingga Neoma tidak bisa menilai dengan baik. Yang jelas, Malam sering 'berangan-angan' kalau Aurora adalah teman kecilnya. Siapa si teman kecil, Neoma juga tidak tahu. Lantaran Malam jarang menyelipkan bagian penting. Hanya sekadar asumsi bahwa Aurora-lah si teman kecil.

Di lain sisi, Aurora pun jadi ikutan sedikit canggung akibat kekakuan si teman. Dan beruntungnya, ia tidak perlu berlama-lama dalam posisi itu. Karena, Malam dan Yaniel telah kembali sambil masing-masing membawa segelas es krim.

Baru saja Yaniel memberikan segelas es krim yang dibawanya ke Neoma, Malam langsung inisiatif bertanya, "Mau tukaran, nggak? Gue tau lo nggak suka matcha. Nih, Yaniel ngeyel banget, kagak percayaan."

Neoma yang tidak bersuara lantas melirik Aurora yang kehilangan kata. Lagi-lagi, ia menyerapahi Malam dalam hati karena membuat suasana semakin canggung. Memang tidak ada yang perlu ditutupi, tapi terlihat jelas kecemburuan di wajah Aurora hingga Neoma merasa tidak enak hati. Alih-alih berterimakasih, Neoma pun memandang sinis pada Malam. Dan dengan segera, Neoma memberikan seluruh fokusnya pada Yaniel yang tidak banyak mengamati. Semoga saja Aurora tidak memiliki pemikiran yang aneh-aneh tentangnya.

Selamat MalamWhere stories live. Discover now