4

90 24 6
                                    

Ketika sore menyapa Malam, langit pun ikut teralihkan dengan warna senja nan indah. Sengaja Malam masih di sekolah, begitu pula yang lainnya. Masih sama seperti minggu lalu, masih dengan pembicaraan yang sama.  Banyak tanya dari Yaniel dan sedikit suara dari Aurora. Berkali-kali Malam menolak untuk memberikan saran, karena bukan si Ketos sendiri yang meminta. Namun, Yaniel yang minim kepekaan, tidak henti-hentinya mendesak hingga Malam bingung siapa sebenarnya pemimpin di lingkup ini.

Aurora masih sama, selalu saja tak dihiraukan oleh para pengurus lain, hingga leluasa kesana-kemari. Untuk beberapa kali, ia juga sengaja menghilang. Entah kemana pun, yang penting hanya sendiri. Itu hingga suatu saat, Malam mengikutinya tanpa izin.

"Jadi, lo selalu ke sini?" Malam bertanya dengan nada sedikit sendu. "Kenapa tega banget ninggalin gue sendirian?"

Aurora yang tengah berduduk tenang di bawah pohon rindang, hanya memandang langit melalui sela-sela dedaunan. "Gue lebih baik di sini, Ma," ucap Aurora seraya memeluk kedua kakinya.

Seakan melihat pemandangan yang familiar, pemikiran itu pun kembali hadir. Untuk kesekian kalinya, Malam membatinkan kemiripan yang masih dicurigainya itu. Bahkan, awan suasana yang Aurora bawa juga sangat mirip dengan si teman kecil, begitu murung dan penuh tekanan hingga Malam ingin menemani. "Kalau gitu jangan pergi sendiri, ajak gue aja," bisik Malam seraya menduduki tempat di sebelah si Ketos Varsha.

Aurora masih enggan berbicara, bahkan enggan mengalihkan pandangannya dari langit jingga. Malam yang masih mengamati, akhirnya mengutarakan isi pikirannya. "Gue pernah ngerasa diginiin, bukan perasaan yang nyaman buat dijalanin sendiri," ungkapnya.

Setelah sekian lama, akhirnya Aurora menoleh pada Malam. "Maksudnya?"

Untuk pertama kalinya, Malam akan mengadu. Meluapkan semua resah dahulu yang jarang terdengar orang lain. "Waktu itu pas gue jadi Ketos, masih kelas 10 semester 2. Berhubung sekolah gue terkenal sama senioritasnya, gue sama Neoma selalu dikambing hitamkan karena dianggap masih anak baru masuk SMA, jadi nggak tau apa-apa ... Sebisa mungkin gue berusaha biar gue aja yang disalahin, jangan sampe Neo ikutan soalnya gue nggak tega ngeliatnya," terang Malam.

"Artinya cuman lo yang bakalan disalahin mulu?"

Malam mengangguk, tapi juga langsung menggelengkan kepalanya; bingung menetapkan jawabannya. "Gimana cara gue jelasinnya?" tanya Malam pada dirinya sendiri. "Kira-kira begini ... Gue sama Neo udah buat rencana, kalau yang 'mimpin' itu lebih baik dia. Soalnya keliatan banget kalau angkatan atas terutama yang cowok, nggak sukanya cuman ke gue. Entah kenapa mereka suka ngerasa seakan ditantang gitu. Biasalah pada main ego, jadi kita yang menjabat cuman bisa main aman demi acara lancar selalu."

Aurora yang mengamati penuh seksama, kembali bertanya. "Lo nggak pa-pa dengan sistem begitu?"

"Ya mau, nggak mau. OSIS di sekolah gue begitu ... Kadang gue suka kasian, gimana Neo yang keteteran ngurus apa-apa sendirian dan gue nggak bisa banyak bantu ... Tapi itu dulu, kok. Gue udah dapat penutupan yang lumayan 'adil' buat masalah itu. Jadi gue rasa, gue nggak pa-pa," ucap Malam yang sedikit merenung pada langit.

Tanpa diketahui, Aurora memandang Malam dengan secercah kagum yang tersembunyi. Begitu menyadari kemiripan mereka dalam kurangnya kendali sebagai ketua, Aurora pun mengungkapkan sisi ceritanya. "Ternyata nggak jauh beda ya," gumam Aurora yang menarik seluruh perhatian Malam. "Di sini bukan senioritas, tapi lebih banyak bersaing. Dan masalah utamanya, mereka kurang 'menerima' gue sebagai Ketos ... Mereka lebih percaya Yaniel buat mimpin, karena katanya cowok yang lebih cocok."

Malam sempat menerjapkan matanya tak percaya. "Di masa udah keren begini, masih ada orang yang pemikirannya begitu? Aneh banget, sumpah," protesnya seraya menggelengkan kepala.

Selamat MalamWhere stories live. Discover now