13

45 10 13
                                    

Dua minggu berlalu dengan cepat sejak terakhir Aurora mendengar suara Neoma. Kesibukan masing-masing membuat kedua teman itu sulit untuk bertemu. Belum lagi Neoma yang dirundung rasa bersalah. Maka dari itu, dengan mengumpulkan banyak nyali, Neoma mengajak Aurora untuk bertemu. Untuk sekadar jumpa belaka, walau diam-diam Neoma ada niatan tersendiri. Dengan harapan penuh cemas, ia meminta supaya Aurora bisa menerima berita ini dengan tenang.

Sengaja mencari tempat yang sepi, Neoma menuntun ke area private suatu restoran. Memulakan pembicaraan dengan kabar belaka hingga sampailah di titik Neoma harus membuka pembahasan mengenai itu. Sulit baginya untuk memilih diksi yang elok untuk memberikan sentuhan lembut untuk hal sepenting ini. Namun, setelah sekian banyak helaan napas. Neoma pun bertanya, "Lo inget nggak, terakhir kali lo cerita ke gue tentang Malam nge-futsal bareng Deni?"

Sontak Aurora mengernyit dengan perubahan topik yang terkesan penuh makna ini. "Kenapa memangnya?" tanyanya kebingungan.

"Gue," ragu dirasakan Neoma hingga takut-takut merangkai kata. "Besoknya, gue nanyain dia."

Mengamati perubahan gerak-gerik yang menjadi sedikit kaku, tatapan Aurora langsung intens pada Neoma, "Neo, ada apa? Lo jadi bikin gue takut."

"Dia masih sering ngilang pas malem, nggak?"

"Hmmm ... Nggak ngilang, sih. Masih ngabarin."

Bimbang dengan alasan apa yang digunakan Malam, Neoma kembali memastikan. "Emang kemarin, dia kemana?"

"Bukannya lo sama Malam ya, kemarin?"

"Iya, sampe sore doang di sekolah."

"Hah?" kagetnya mendengar info baru itu. Lantas saja Aurora bertanya, "Malemnya?"

"Enggak."

Cemas bukan main ketika Aurora mendengar perkataan Neoma. Dikiranya sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja. Nyatanya, tidak. Aurora hanya belum menyadari keganjalan yang ada. Atau mungkin lebih memilih untuk mengamankan hatinya sendiri. Karena, rasa kasih untuk Malam terlampau banyak.

"Malam bilangnya kalau dia ada rapat bareng lo," gumam Aurora.

Neoma langsung memicingkan matanya. Ternyata selama ini dugaannya bukan tidak beralasan. Malam benar-benar menutupi kelakuannya pada sang pacar. Tanpa sadar, tali kasat mata yang menyelebungi dirinya sedikit melonggar hingga membuatnya lega. Setidaknya, sekarang dia tidak perlu membawa beban bersalah pada Aurora. Tidak lagi perlu berpura-pura bodoh untuk merahasiakan ulah Malam. Tak ingin namanya terseret lebih jauh, Neoma buru-buru menjelaskan. "Nggak ada. Kemarin malem gue me time, cuman di rumah, maskeran," ujarnya memberikan alibi.

Dengan wajah tertunduk, Aurora merintih, "Kenapa Malam bohong, ya?"

"Ini yang mau gue ceritain ke lo," kata Neoma mengakui niatnya. "Gue udah lama pengen kasih tau lo, Ra. Cuman nggak enak aja rasanya, bahas beginian di chat ... Tapi belakangan ini, yang gue tau, kalau Malam pergi bareng Deni bukan buat nge-futsal."

Tidak cukup sampai di situ, nyatanya berita buruk dari Neoma masih belum berakhir. "Oh, iya? Jadi, dia kemana?" tanya Aurora sesekali membatinkan doa untuk menguatkan diri.

Kebingungan mencari kata yang tepat, Neoma ragu-ragu memberikan ponselnya kepada Aurora. Sebuah percakapan antara dirinya dan Malam telah terpampang di layar. "Anu ... Gua bingung jelasinnya," akunya dengan suara amat kecil. "Lo baca sendiri aja ya, Ra"

"Kok beda banget?" celetuk Aurora hingga dirinya terkesiap. Tidak berniatan untuk mengumbar opininya yang melihat cara sang pacar mengirim pesan pada Neoma. Memperhatikan itu, jadi membuat dirinya kepikiran dengan pesan Malam yang diterimanya. Jauh berbeda, karena jelas terlihat bagaimana sang pacar lebih giat mengabari. Dan, untuk mengalihkan pembicaraan dari celetukannya tadi. Aurora pun bertanya, "Ngapain ngabarin mulu?"

Selamat MalamKde žijí příběhy. Začni objevovat