Tiga Puluh

205K 19.7K 1.2K
                                    

Happy reading all!!

🔥

Bara mengendarai mobilnya seperti seorang pembalap, Nara yang duduk di sebelahnya berkeringat dingin, bibirnya komat-kamit membaca dzikir.

"Kak! Ini nyawa kita cuman satu Lo!" Teriaknya yang tak di hiraukan Bara, menoleh saja tidak, sudah kepalang emosi.

"Astaghfirullah, astaghfirullah, sadarkan suami hamba ya Allah, apapun jenis setan yang menempelinya tolong jauhkan ya Allah." Do'a Nara dalam hati, ia memejamkan mata tak berani melihat bagaimana cara Bara menyalip para pengendara lain.

Cowok kalau sedang marah apa memang begini? Tanya Nara tak habis pikir, kenapa luapannya menantang malaikat Izrail sekali?

Mobil berhenti melaju, Nara sampai termaju kedepan karena rem dadakan. Sementara Bara, cowok itu tanpa kata langsung keluar dari mobil, menutup pintu hingga membuat bunyi yang nyaring.

Nara terlonjak  hingga harus mengelus dada, tak ingin di tinggalkan, ia pun segera turun dan mengejar Bara yang langkahnya sangat besar.

"Kak Bara!" Panggil Nara yang tak mendapat sahutan.

"Aku minta maaf, dengerin dulu ish, jangan marah-marah," Nara mensejajarkan langkahnya dengan Bara.

Bara abai, ia menuju ruang kerjanya dan langsung menutup pintu itu kuat saat Nara hampir mencapai pintu. Nara memejamkan mata, meresapi kerja jantungnya yang terus di uji sedari tadi.

"Kak, aku minta maaf, tadi itu nggak maksud apa-apa, keluar dulu yuk. Dengerin dulu aku mau ngomong apa," bujuk Nara yang hanya menghasilkan sunyi setelahnya.

Nara menghela nafas, cemburunya Bara adalah malapetaka untuknya. Nara melirik jam, hari sudah tengah hari, dan Bara belum makan siang, mana tadi obatnya baru boleh di minum setelah selesai makan.

Nara menuruni tangga, berjalan menuju meja makan untuk mengambilkan makanan Bara. Nara berhenti sebentar, memegang perutnya yang terasa seperti di aduk. Faktor sarapan sedikit dan juga belum makan siang ya begini.

Nara menarik nafasnya dalam, di ambilnya piring dan mulai menyiapkan makanan Bara. Sepiring nasi beserta lauk pauknya telah Nara letakkan di atas nampan di ikuti segelas air putih.

Nara mencari obat Bara di dalam tasnya, di siapkannya sesuai apa yang tadi Reza katakan. Nara kembali menghela nafasnya begitu merasakan perutnya yang kembali berulah.

"Nggak papa Nara, semangat! Suamimu harus makan dan minum obat," semangatnya pada diri sendiri.

Setibanya di depan ruang kerja Bara, Nara mengetuk pintu dengan nampan yang sudah berada di lantai.

"Kak Bara, makan dulu yuk! Abis itu minum obatnya," Nara bersabar menunggu pintu di buka ataupun sebuah sahutan, tapi sayangnya sudah tiga menit tetap senyap.

"Kak, nanti tambah sakit kalau nggak minum obat," bujuk Nara sekali lagi, tetap tak ada sahutan.

Kembali menghela nafas, Nara menatap nanar nampan makanannya.

"Yaudah kalau masih marah sama aku, tapi makan ya, makanannya udah aku taruh di depan pintu Kakak sekalian sama obatnya." Nara mengalah, tak ingin Bara malah tak makan dan minum obat karena tidak mau menemuinya.

Nara memijit pelipisnya, kenapa sekarang malah kepalanya juga ikut-ikutan pusing?

Nara berjalan menuruni tangga, ia tidak ingin keras kepala dengan tidak makan, akan repot jika ia sakit saat Bara juga sedang sakit.

Sementara itu, pintu yang sedari tadi tertutup, kini terbuka perlahan menampilkan wajah datar Bara. Dilihatnya nampan yang Nara letakkan di atas lantai, Bara mengambilnya, menghela nafasnya dan menatap kearah lantai satu.

Bara My Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang