Bab 1

3.1K 673 45
                                    

Kanthi Widya Kusuma

Sebelum keluar dari kamarnya di lantai dua, Titi mempraktikkan senam pernafasan untuk mengatur laju jantungnya. Berhadapan dengan kedua orang tuanya saat ketahuan pulang pagi, tidak semenakutkan ketika harus bertemu dengan wanita yang telah menjadi mimpi buruknya setiap kali ia, iras dan indra menghabiskan waktu liburan di rumah eyang mereka.

Wanita dua puluh enam tahun itu memanggilnya dengan sebutan Budhe. Bagi Titi, kakak sepupu bapaknya yang berprofesi sebagai perias pengantin itu memiliki aura yang menakutkan. Entah memang menakutkan atau karena kenangan masa kecil yang membuatnya tidak terlalu ingin berdekatan dengan wanita tersebut.

Setiap kali ia berdekatan dengan wanita jawa itu, selalu tercium aroma bunga Kenanga yang identik dengan bunga untuk ziarah kubur. Suatu kali, Indra—adik lelakinya—pernah membuatnya lari ketakutan sewaktu melintas di samping tanaman bunga tersebut saat terdengar adzan Mahgrib. "Ti, lari! Onok wewe gombel, Ti!"

Masih segar dalam ingatan, sakit yang dirasakannya saat tersungkur di halaman yang penuh batu di rumah eyang mereka. Semenjak hari itu, ia selalu menghindar untuk terlalu dekat dengan budhenya. Bagi wanita yang akan melangsungkan pernikahan beberapa hari lagi, budhe Lastri-nya seseram makam di malam hari.

Saat kakinya menyentuh lantai satu rumah orang tuanya, aroma wangi bunga lah yang menyambutnya. Dari sudut matanya ia melihat meja penuh dengan bunga melati, mawar, anggrek dan bunga berbentuk peluru berwarna putih yang belum pernah Titi lihat sebelumnya.

"Kanthi. Jangan dibiasakan tidur lagi habis salat Subuh. Kalau sudah menikah, kamu yang harus ladeni suamimu, bukan orang lain." Matanya melotot mendengar teguran yang diterimanya saat ini.

Suara itu tidak terdengar keras ataupun ketus, bahkan suara wanita yang sebagian rambutnya sudah memutih itu terdengar lembut. Namun siapapun yang mendengarnya, akan mengakui bahwa efek yang ditimbulkan tidak selembut itu. Selalu ada perasaan takut menyertai setiap kali ia mendengar suara lembut budhenya.

Saat mulut Titi sudah gatal ingin membantah semua perkataan wanita jawa tersebut. Dari kejauhan, ia melihat gelengan sang ibu yang disertai pelototan mata membuat siapapun berlari saat melihatnya. Alih-alih jawaban sepanjang jalan kenangan seperti yang ia inginkan, ia menghela nafas berat dan berkata, "Nggih, Budhe."

Titi melempar senyum ramah ke beberapa saudara dan rombongan yang datang bersama budhe-nya. Dua orang wanita terlihat tunduk dan patuh dengan semua perintah wanita tanpa cela yang terlihat meronce bunga melati menjadi untaian yang rumit dan cantik. Ia melirik sekilas semua kerepotan yang terjadi sebelum meneruskan langkah menuju dapur dimana ada sarapan yang sudah tersedia untuknya.

"Pasti diomeli Budhe lagi," kata Simbok dengan nada geli. Meski bibirnya tak berhenti menggoda Titi, tangan gempalnya tetap bergerak menyiapkan sarapan sesuai kebiasaan anak asuhnya itu.

Wanita yang sudah bekerja di rumah mereka semenjak Iras—kakak lelakinya—masih di dalam perut, sudah mengenal mereka bertiga luar dalam. Semua belang yang orang tua mereka tidak ketahui, hanya wanita gempal itu yang mengetahuinya. Jadi ia tidak heran lagi saat Simbok tahu Titi sudah mendapat siraman rohani dari budhe-nya pagi ini.

"Aku kerja, Mbok. Budhe aja yang enggak tahu kalau habis salat aku di depan laptop bukannya ngelonin guling. Bapak juga yang salah, aku itu kerja sama ibu, tapi kalau ada apa-apa selalu minta aku yang ngerjakan."

Bibir Titi tak berhenti mengomel disela-sela kesibukannya mengunyah nasi merah dan lauk yang Simbok siapkan. Seolah ada yang membisikkan sesuatu ke telinganya, ia melihat kearah meja makan. Telinganya tak akan sanggup jika mendapat tambahan siraman tentang kebiasaan buruknya saat makan. Saat ini ia bisa membayangkan omelan budhe-nya jika melihatku saat ini.

Kanthi(L) - (Repost)Where stories live. Discover now