Bab 6

2.2K 673 71
                                    

Gado-gado Al Falah

Warung kecil dengan tiga meja panjang dan dua meja kecil yang menempel dinding terlihat penuh siang ini. Dia dan ibunya sepakat untuk tidak memindahkan tempat meski ada beberapa tempat yang bisa disewa dengan ruang yang lebih besar, tapi memikirkan untuk memindahkan tempat sepertinya tidak tepat untuk mereka.

Meski kecil, tempat ini selalu penuh. Terkadang ada beberapa orang yang rela menunggu atau bahkan tidak mendapat tempat, seperti gadis waktu itu.

Gadis mungil yang sesekali muncul dalam pikirannya. Wajah manis yang kontras dengan mulut pedasnya, bibir atasnya yang terlihat njedir—kata orang jawa—terlihat menggemaskan. Ada sesuatu di wajah manis itu yang mengingatkannya tentang sesuatu atau seseorang, yang sampai detik ini Arya belum mengetahui. Mungkin dia pernah bertemu dengannya atau sekedar berpapasan. Semenjak siang yang terik itu, setiap kali ia melihat warung Ubaya terisi penuh, ingatannya akan kembali pada gadis itu.

Arya mengakui saat itu kesopanannya entah pergi kemana, mungkin meleleh seiring teriknya matahari waktu itu. tidak seharusnya dia mengatakan sesuatu tentang perutnya yang berbunyi. Meski dia tidak sengaja mendengarnya. Tidak setiap hari ia mendapatkan momen seperti itu, dan dia berhutang minta maaf pada gadis itu, seandainya saja Arya bisa bertemu gadis itu lagi.

Lelaki itu menyimpan pikiran tentang gadis misterius itu, karena tugas sudah memanggilnya saat ini. Mengantarkan masakan di kedua warung yang terletak di dekat ITS dan Unair. Sedangkan untuk warung Ubaya, menjadi tugas Meme sebelum ia berangkat ke kantor. Terkadang dia tidak tega melihat adik kecilnya itu harus bolak balik membonceng salah satu pegawai mereka sambil memangku masakan. Dia berpikir untuk menambah satu lagi kendaraan untuk memudahkan meme sesekali mengantar Ibu. Namun jawabannya diluar dugaan Arya, "Nanti Meme beli pakai uang sendiri, Mas."

Adik kecilnya ternyata sudah tidak sekecil itu lagi, cara berpikirnya memang selalu lebih dewasa dibanding umurnya. Namun sampai detik ini, Arya masih menganggap Meme anak kecil yang harus selalu dalam pengawasan dan perlindungannya. Meski sebenarnya dia tahu tinggal menunggu waktu saja untuk menyerahkan tanggung jawab itu kepada Adit.

Mengingat adik-adiknya membuatnya sedikit jengkel karena beberapa hari ini group keluarga penuh tentang pembahasan kenapa seorang Arya masih membujang. Ketiga adiknya membuat berbagai macam skenario mulai dia belum pernah jatuh cinta, ditolak sampai gagal move on.

Seandainya saja mereka tahu bahwa selama ini bukan dia gagal move on atau tidak pernah jatuh cinta. Dia hanya tidak ingin untuk mencari pendamping, untuk saat ini. Arya merasa masih mempunyai tugas yang belum selesai, dan dia tidak ingin memikirkan tentang dirinya sendiri untuk saat ini.

MemeMomo
Mas Ar ojo lali mapak Ibu!

Arya sedikit sibuk pagi itu, sehingga pesan adiknya baru dibacanya sepuluh menit sebelum jadwalnya menjemput sang ibu. Tanpa pulang untuk berganti baju, dia mengarahkan mobil menuju masjid Al Falah yang terletak di jalan Darmo.

Dia mengirim pesan pada ibunya untuk menunggu di warung gado-gado langganan mereka setiap kali dia menjemput ibunya disana. Meski setiap hari berhadapan dengan makanan, Aryo tak bisa menolak gado-gado atau rujak buah Al Falah.

Warung gado-gado terlihat penuh seperti biasanya, bangku kayu panjang yang saling berhadapan terlihat tidak ada tempat kosong. Arya mendapati ibunya duduk di bangku paling ujung berhadapan dengan seseorang yang sedang menjelaskan sesuatu. Dia kenal semua teman ibunya, kecuali yang sedang berhadapan dengan wanita itu saat ini.

"Mas!" panggilan itu membuat wanita dihadapan ibunya memandang kearahnya, dan betapa bahagianya saat mendapati siapa gerangan yang dia temui saat ini.

"Hallo."

Sapa Arya setelah mencium punggung tangan dan kedua pipi ibunya. Dengan mata berbinar, dia memandang wanita yang terlihat terkejut melihatnya. wajah manisnya terlihat memerah, mungkin dia mengingat pertemuan dengannya beberapa saat yang lalu.

"Sorry yang waktu itu, aku benar-benar enggak sengaja dengerinnya?"

"Dengerin apa?"

Arya melirik sang ibu berseri-seri melihat kearahnya dan gadis itu bergantian. Seakan menanti sesuatu yang akan terjadi diantara mereka saat ini. padahal yang terjadi adalah Arya meminta maaf atas kelancangannya waktu itu.

"Kalian kenal?"

Arya dan gadis itu bersamaan menggeleng menjawab pertanyaan itu. Dia mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya, "Ardyaloka, CEO warung makan," Dari sudut matanya, lelaki yang terlihat santai itu bisa melihat ibunya menggelengkan kepala saat ia memperkenalkan diri.

Beberapa detik tangannya dibiarkan menggantung tanpa ada kepastian kapan akan bertemu. Saat dia hendak menyerah dan menarik tangannya, Arya merasakan genggaman halus tangan gadis itu.

"Titi."

Kita tidak pernah tahu kapan, dimana, siapa bahkan untuk apa kita bertemua dengan seseorang. Arya percaya Allah menempatkan orang yang membawa kebaikan dan akan menerima kebaikan kita dimana saja. Saat ini dia merasa, gadis bernama Titi ini akan membawa banyak kebaikan untuknya dan dia ingin bisa membawa kebaikan untuknya.

"Titi pernah mau makan di tempat kita, Bu. Tapi batal karena enggak ada tempat. Padahal wis Mas tawarin tempat waktu itu."

Dia memandang gadis yang beberapa kali menggeleng untuk memintanya menutup mulut dan jangan berkata apa-apa. Namun Arya akan tetap menjadi bujang lapuk yang jengkelin tapi juga ngangenin.

"Dimana?"

"Dihatiku, Bu"

Arya melirik Titi yang dengan segera menutup wajah dengan kedua tangannya karena malu mendengar jawaban absurdnya. Namun berbeda dengan ibunya yang terlihat bahagia mendengar kekonyolan anak lelakinya itu.

Arya melihat kedua piring yang sudah kosong di depan mereka. Padahal ia ingin memiliki waktu sedikit lebih lama untuk ngobrol bersama gadis yang hari ini terlihat lebih menarik. Berbeda dengan ketiga adiknya yang semua memakai hijab, gadis mungil ini hanya menutup kepalanya dengan selendang hari ini.

"Tante, Titi pamit dulu. Sepertinya Ibu sudah selesai." Arya mengikuti arah yang gadis itu tunjuk, sepertinya dia mengenal wanita yang terlihat mencari-cari seseorang tersebut. Sebelum gadis itu beranjak, Arya sudah berlari kecil menuju wanita yang hari itu terlihat anggun dengan gamis berwarna biru.

"Tante."

"Lho, kok disini?!"

Arya menunjuk kearah warun gado-gado, "Jemput Ibu. Lagi nunggu disana."

Ibu dari Sidharta Sastrowijaya—yang biasa dipanggil Iras—sahabatnya semenjak kuliah. Semasa kuliah, hanya Iras teman yang dekat dengannya. Mereka sering menghabiskan waktu berdua, sampai membuat pacar-pacar mereka cemburu.

"Lho, Titi!"

Arya memandang gadis manis yang terkejut melihat wanita yang di gandengnya saat menyeberang tadi. Sebelum dia menanyakan hubungan kedua wanita berbeda generasi itu, kedua ibu yang sudah saling kenal itu berpelukan seperti lama tidak bertemu.

Mereka berdua bertukar kabar dengan diselingi tawa yang membuatnya semakin penasaran. Dia memandang Titi yang terlihat sama penasaran seperti dirinya.

"Jangan bilang kalau kamu adiknya Iras!?" kata Arya pelan ke arah Titi yang juga terkejut melihat kedua wanita tersebut.

"Ya wis, enggak bilang kalau gitu."

Selamat pagi
Selamat membaca
Semoga suka, ya.
😘😘😘
Shofie

Kanthi(L) - (Repost)Onde histórias criam vida. Descubra agora