Bab 11

1.8K 603 59
                                    


Appreciation Gifts

Permintaan yang unik selalu menantang Titi untuk bisa menyelesaikan. Karena sisi kreatifnya dipaksa untuk bangun dan bergerak memikirkan ide yang unik dan berbeda dibanding yang lainnya.

Meski pada mulanya klien yang satu ini hanya meminta dibuatkan box yang ada tutupnya, tapi berkembang menjadi termasuk isinya. Dia meminta Titi untuk membuat appreciation gifts untuk kakaknya.

Dia merasa tak kuasa untuk menolak permintaan yang begitu personal dan rasanya baru kali ini dia mendengar tentang gift seperti ini. Dalam adat jawa disebut plangkahan. Seperti meminta izin untuk melangkahi sang kakak.

Sebagai simbol penghormatan, sang kakak boleh meminta apa saja. Namun berbeda dengan yang Titi kerjakan, karena sang adik ingin menjadikan ini kejutan bagi sosok yang menurut cerita, telah berkorban banyak untuk keluarga mereka.

Titi merasa perlu bertemu dan mendengarkan cerita tentang kakak yang begitu hebat dalam gambaran sekilas yang didapatnya. Wanita itu meminta Titi untuk mengerjakan box dan seisinya, dengan instruksi yang jelas, harus dibawa pada saat hari H. Karena klien ingin itu juga menjadi kejutan bagi dia dan keluarganya.

Hari ini Titi sepakat untuk bertemu dengan klien barunya di salah satu Mall yang terletak di jalan Kalirungkut. Dia memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah karena saat ini memikirkan untuk keluar terlalu jauh, membuatnya malas. Titi sengaja datang terlebih dahulu, memandangi orang yang berlalu lalang membuatnya tertarik hari ini.

Sketchbook berisi desain awal yang ingin diajukannya sudah siap di hadapannya, tinggal menunggu calon pengantin itu datang. Lima menit sebelum waktu pertemuan mereka, gadis yang tampak seumuran dengannya memasuki cafe dengan senyum ragu.

"Mbak Kanthi? Hai ... aku Emelda."

"Hai ... panggil Titi saja. Silahkan duduk mbak."

Diam-diam Titi mengamati gadis yang masih membaca buku menu didepannya. Ada sesuatu di wajahnya yang mengingatkannya tentang seseorang. Ia berpikir keras entah senyum atau sorot matanya yang mengingatkan Titi pada seseorang. Ia menanti sampai gadis itu selesai menyebutkan pesanannya dan mengalihkan pandangan padanya.

"Aku telat, ya? Mbak Titi sudah lama menunggu."

Dia melihat arah pandangnya menuju gelas kopinya yang tinggal separuh dengan piring yang isinya tinggal separuh. Gadis dengan rambut sepundak yang duduk didepannya terlihat segan karena membuatnya menunggu.

"Enggak Mbak, aku nya aja yang kerajinen. Karena hari ini lagi kosong, jadi sengaja datang duluan. Ceritakan tentang kakak Mbak Emelda. Warna kesukaannya, gaya berpakaiannya, make up yang biasa dipakainya, semuanya. Jadi aku ada gambaran untuk memberikan kejutan apa nantinya."

"Kakakku ini laki-laki, Mbak."

Titi terdiam mendengar jawaban Emelda. Selama mereka bertukar pesan tentang keinginannya untuk memberikan appreciation gifts, yang ada dibayangannya adalah kakak perempuan bukan laki-laki.

Ini membuat semuanya berubah, karena tidak mungkin dia memberikan box berhias kain tille kepada lelaki. Bahkan bayangan bunga sebagai penghias pun harus berubah agar tidak terlihat terlalu manis.

Gadis di depannya tersenyum melihat reaksinya. Senyum simpulnya membuat gigi ginsul di sebelah kanannya terlihat jelas. Manis, kata yang Titi gunakan untuk menggambarkan calon pengantin yang masih belum menentukan apa saja isi kotak kejutan tersebut.

"Oke. Meski sedikit kaget, tapi semuanya bisa diatur. Ceritakan saja padaku, dari situ aku bisa dapat gambaran."

Selama beberapa menit, Titi mendengarkan Emelda menggambarkan kakak lelakinya yang sekaligus menjadi ayah semenjak dia belum masuk SD. Pengorbanan yang dilakukannya untuk membantu ibu mereka membuat hatinya tersentuh. Lelaki yang bersemangat menghadapi dunia tapi kenyataan membelenggunya untuk tetap di tempat menggantikan tugas seorang ayah yang telah berpulang.

Titi bisa membayangkan kekecewaan atau kebingungan saat harus berperan ganda seperti itu, bahkan diumur yang belum genap dua puluh lima tahun.

"Mas Ar paling suka warna biru navy. Dia orangnya bersihan banget, Mbak. Tidak suka menimbun barang, tapi terkadang dia masih menyimpan sesutau yang berupa pemberian."

Sosok lelaki idaman yang tidak suka merepotkan orang lain, mandiri dan memiliki pengertian tingkat dewa. Kalau saja saat ini Ibu mendengar cerita calon klien ini, wanita yang melahirkannya itu di jamin jatuh cinta dan meminta lelaki itu untuk melamar anak gadis satu-satunya. Yang membuatnya kuatir akhir-akhir ini karena semakin jarang tersenyum lepas seperti sedia kala.

Tiba-tiba dia mendengar nama musuhnya disebut, sesuatu yang tidak diharapkannya akan bertemu dalam waktu dekat. Sepertinya alam semesta memang suka bercanda dengannya. Karena saat ini Emelda memandangnya dengan keheranan.

"Bunga apa?"

"Bunga Kantil yang ada di rangkaian melati pengantin wanita itu, lho, Mbak."

Aku tahu bunga kantil itu seperti apa. Yang dia tidak tahu adalah hubungan antara lelaki yang Emelda sebut dengan Mas Ar dan bunga kecil yang membuatnya trauma dengan kehadirannya. Membuatnya mengingat mereka berdua.

"Jadi, Mas Ar itu orangnya baik banget. Aku tahu beberapa kali ada gadis yang datang ke tempat usahanya, selain untuk makan siang, merkea sengaja untuk bertemu dengannya. Di pendengar yang baik, mbak. Membuatnya menjadi semacam konsultan bagi beberapa orang yang kebetulan semua berkelamin wanita. Menerima segala curhatan kakakku itu," canda Emelda dengan senyum lebar.

"hubungannya dengan bunga kantil?"

Emelda bercerita bahwa dari kesemua wanita-wanita itu akhirnya menikah dan mengundang kakak lelakinya. Setiap kali dia bersalaman untuk mengucapkan selamat, pengantin wanita selalu menyelipkan bunga kecil itu dalam genggamannya.

Seperti halnya dirinya, tokoh yang penuh misteri ini tidak mempercayai cerita tentang bunga kecil berbentuk peluru itu. Namun anehnya dia tidak membuang bunga pemberian itu, menurut Emelda, lelaki itu menyimpannya dalam kotak.

"Mbak percaya dengan mitos itu?"

"Hah! Aku?" tanya Titi gelagapan karena sempat melamun membayangkan lelaki yang tinggi tegap sesuai gambaran Emelda, namun suka menyimpan sesuatu yang bersifat nostalgia.

Dia tidak mempercayai cerita tentang bunga kecil itu, bahkan dia membenci bunga itu. karena mendengarkan cerita tentang bunga itulah, dia melakukan tindakan impulsive yang membuatnya melihat sesuatu. Meski sebenarnya bukan bunga itu yang menggerakkan hatinya, namun keraguan di hatinya setelah mendengar cerita Budhe Lastri waktu itu membuatnya melanggar larangan untuk menemui lelaki itu.

"Aku engak percaya yang gitu-gitu, Mbak. Buatku, wanita yang mengambil bunga kantil seperti itu adalah egois. Hanya karena dia mempercayai, bukan berarti diperbolehkan untuk merusak roncean yang dikerjakan dengan sepenuh hati. Membuat penampilan pengantin itu berubah, kan!"

Titi tersenyum saat gadis di depannya pun mengangguk seolah setuju dengan apa yang dikatakannya barusan. Sekali lagi dia merasa mengenali calon pengantin di depannya ini.

Emeldan menyetujui ide box dengan tutup yang diajukannya. Untuk isi, dia menyetujui untuk menunggu Titi memberikan daftar isi. Dari apa yang didengarmya, seharusnya tidak sulit untuk memberikan appreciation gifts ini. Yang membuatnya susah adalah, kakak lelaki Emelda tipe yang jarang menunjukkan apa yang diinginkannya. Lelaki yang selalu memberi tapi jarang menerima, karena dia merasa tugasnya adalah pemberi.

Gaya berpakaian yang digambarkannya pun standard. Dia bisa membayangkan selera lelaki itu tak jauh dari selera Iras, kakak lelakinya. Yang membuatnya menarik adalah, lelaki itu gemar memasak. Comfort food yang membuat kita rindu rumah saat menikmatinya.

Family man yang jarang meminta hanya memberi, memberi dan membari. Dalam hati Titi bertanya, 'apa yang membuat lelaki sesempurna itu masih tetap sendiri?'


Repooooost!
Yang enggak sabar pengen baca ampe kelar bisa ke google play book atau hubungi Karos Publisher untuk versi cetak

Semangat pagi
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Kanthi(L) - (Repost)Where stories live. Discover now