Bab 5

2.2K 665 58
                                    


Pertama

Sepulang dari bertemu dengan calon klien yang ingin memesan satu set meja kursi berbahan kayu dan eceng gondok. Wanita dua puluh delapan tahun itu tertarik untuk makan di salah satu warung nasi yang terlihat ramai dan bersih di daerah Tenggilis tak jauh dari Universitas Surabaya. Normalnya daerah kampus, selalu memiliki tempat makan yang enak dan pasti murah, seperti tempat ini. Menurut review salah satu anak buah ibunya, warung yang terlihat penuh itu memiliki menu yang enak dan dijamin murah.

"Coba mampir kesana, Mbak. Nasi campurnya top markotop, wis! Yang membuat warung itu berbeda sama warung lainnya itu, kacang godognya."

Titi pikir apa anehnya dari kacang rebus. Apa yang membuatnya seistimewa itu. "Emang kenapa?"

Dengan berapi-api, gadis berjilbab itu menjelaskan jelas dengan gerakan tangan yang ia rasa terlalu berlebihan. "Biasanya kita lihat di meja warung begitu kan, pisang atau kerupuk ikan. Di sini tuh ada tambahan kacang godongnya. Gratis pisan, mbak. Lagian Mbak, enggak bakalan nyesel kalau makan disana, percoyo aku, Mbak!"

Terbujuk oleh review disertai cerita tentang kacang rebus gratis membuatnya penasaran. Pertama karena ia memang lapar. Kedua, karena ingin melihat warung makan dengan review sehebat itu.

Terlihat dari tempat ia berdiri saat ini, susunan lauk yang ditata rapi di dalam etalase kaca itu benar-benar menggoda selera. Matanya tak bisa lepas dari tumpukan dadar jagung yang terlihat menggoda. Bahkan saat ini Titi bisa membayangkan enak dan gurihnya makanan berbahan dasar jagung tersebut.

Tiga baris meja panjang tak terlihat ada satu pun kursi kosong disana. Dari kejauhan ia bisa melihat beberapa mahasiswa berdiri dan bercanda dengan mereka yang terlihat asik menikmati nasi campur di depannya. Dentingan es batu yang terdengar membuat tenggorokannya terasa semakin kering. Namun semua bayangan makanan di kepalanya terhapus kembali saat matanya masih belum menemukan tempat kosong. Dengan berat hati, ia berbalik dan membatalkan untuk makan siang disana.

Saat itulah ia menabrak seseorang, beberapa kantong kerupuk putih yang terlihat cocok disandingkan dengan rujak cingur terlihat berserakan karenanya. Makanan khas Surabaya yang enak dimakan saat cuaca panas, membuatnya kembali lapar. Segera saja perutnya berbunyi tanda bayangan rujak cingur memicu genderang perang di perut wanita itu.

"Laper banget, ya?"
Sedetik yang lalu, seperti adegan di film romantis. Saat ia hendak mengambil kantong yang terdekat dengannya, lelaki tersebut pun melakukan hal yang sama. Seperti halnya di film mereka menegakkan badan dengan kantong kerupuk yang sama di tangan mereka.

Tidak ada mata berbinar seperti adegan film di mata Titi saat ini. Karena saat mendengar pertanyaan lelaki yang wajahnya tertutup oleh topi ditarik sedikit lebih dalam itu membuatnya jengkel setengah mati. Bagaimana bisa dia mendengar suara perutnya di suasana seramai ini?

"Enggak sopan banget, sih!" hardik Titi, setelah mendongak untuk memandang lelaki usil di depannya. Panasnya sinar matahari yang mencapai empat puluh derajat celcius siang ini, membuat otak Titi seolah berhenti berfungsi dan melupakan semua sopan santun.

"Saya, kan, nanya. Laper banget, ya?" tanya lelaki yang terlihat menahan senyumnya. Setiap kata diucapkannya dengan pelan.Membuat jengkel yang Titi rasakan semakin memuncak.

Masih dengan kepala mendongak menantang matahari karena ingin memandang lelaki tersebut. Wanita yang terlihat silau dan kepanasan itu berkata, "Nggak sopan banget jadi orang! Terlepas Mas nya dengar suara perutku menyanyi atau aku kentut sekalipun, enggak harusnya tanya gitu dong!" Semakin merah wajah Titi terlihat menahan marah, lelaki tersebut tak bisa menahan senyumnya lagi.

Meski dalam hati Titi mengakui bahwa lelaki berbadan tinggi di depannya saat ini memiliki senyum yang manis. Senyum yang bisa mendatangkan masalah baginya. Lelaki model begini pasti tidak bisa dipegang kata-katanya. Bad boy vibe yang dirasakan darinya menjadikan dia lelaki yang harus dihindari, sampai kapanpun.

"Ya, maaf. Mbak-nya juga yang salah. Kenapa berhenti tepat di pintu. Saya mau minta minggir, ternyata mbaknya berbalik, nabrak, deh!" kata lelaki yang masih memandangnya dengan senyum di bibir.

Kepalang tanggung. ia sudah malu karena suara perutnya lantang terdengar oleh orang asing. Titi memutuskan untuk meninggalkan warung yang semakin terlihat penuh setelah kedatangan rombongan mahasiswa Universitas Surabaya yang memang terletak tidak jauh dari lokasi warung tersebut.

"Enggak jadi makan?" Titi berhenti saat mendengar pertanyaan lelaki itu setelah beberapa langkah.

"Males! Lagian enggak ada tempat."

Ia merogoh kedalam tas dan mengeluarkan kunci mobil bersiap untuk mencari makan ditempat lain, saat tiba-tiba terdengar teriakan dari lelaki yang membuatnya malu beberapa saat lalu.

"Saya sediakan tempat istimewa buat kamu. Gimana? Sebagai permintaan maaf. Mau, ya?"

"Dimana? Tempatnya, kan, penuh?" jawabnya setelah diam beberapa saat. Menimbang antara malu dan laper yang ia rasakan saat ini.

"Ada!"

"Dimana?"

"Dihatiku!"

Mendengar jawaban lelaki itu membuatnya terpaksa menahan senyum, meski siapapun bisa melihat rona merah di pipi Titi saat ini dan bukan hanya karena efek sengatan matahari. Beberapa kali wanita yang tersipu malu itu membuka dan menutup kembali bibirnya saat dia kehilangan kemampuan untuk menjawab rayuan lelaki itu.

"Gombal!" Hanya itu yang bisa diucapkan sebelum memutar tumit untuk kembali menerusakan langkah menuju mobil. Titi bisa merasakan lelaki itu masih memandangnya saat ini, ia berdebat antara berbalik untuk memastikan atau berlagak cuek dan meneruskan langkahnya.

Setelah beberapa langkah, rasa penasaran tak bisa ditahannya lagi. Titi berbalik dan menemukan lelaki itu masih berada ditempatnya dengan bibir mengembang sempurna. Dia meminta Titi untuk kembali, tapi ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan sebelum masuk mobil.

Dalam perjalanan pulang, pikiran wanita yang masih merasakan jantungnya berdebar itu kembali pada lelaki dengan senyum jail yang terlihat manis dan menjengkelkan itu. Lelaki, jenis manusia yang harus ia hindari saat ini. Setelah kejadian tahun lalu, Titi merasa tak bisa mempercayai mulut manis mereka. Hanya bapak dan kedua saudara lelakinya yang bisa ia percaya. Meskipun dua orang itu terkadang juga membuatnya jengkel.

Titi melepas sesak di dada saat teringat kejadian setahun yang lalu. Dalam waktu semalam ia kehilangan tunangan dan sahabat. Menyesal? Tentu tidak, karena wanita itu percaya segala sesuatu yang terjadi adalah yang terbaik baginya. Sakit hati? Bohong kalau ia menjawabnya, tidak. Mereka berdua seharusnya menjadi orang yang bisa dipercaya, tetapi Tuhan menunjukkan sebaliknya.

Hingga saat ini, Titi tidak berniat untuk bertemu dengan mereka berdua. Untuk mendengar alasan di balik pengkhianatan atau bahkan mencari tahu sudah berapa lama affair itu berlangsung, ia tidak ingin tahu. Mereka berdua tidak cukup berharga untuk menghabiskan waktunya lagi. Cukup sudah ia berurusan dengan mereka di masa lalu.

Setelah kejadian itu, Titi juga memutuskan hubungan kerja dengan Yaya. Selama ini ia bekerja sama dengan sahabatnya untuk menyuplai pernah-pernik, souvenir atau kotak hampers. Meski kerjasama itu menguntungkan baginya, tapi membayangkan bertemu dan berbicara dengan gadis itu, membuat suasana hati Titi hancur berantakan. Ia hembuskan nafas berat yang mengganjal di dada setiap mengingat mereka berdua. "Ini pasti efek lapar!" kata Titi meyakinkan dirinya sendiri.


Sarapan yang manis-manis dulu, yuk.
😂😂😂

Happy reading guys
Love, ya!
😘😘😘
Shofie yang belum kesampaian makan rujak cingur

Kanthi(L) - (Repost)Where stories live. Discover now