Bab 7

2.1K 650 33
                                    

Tanpa Hati

Setelah kejadian malam itu, dia merasa semua yang dikerjakan seakan tidak ada artinya. Semua dia kerjakan dengan mode autopilot, ia tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus melakukannya. Namun satu hal yang dia tak bisa adalah, melakukan semuanya dengan hati.

Selama ini, Titi berhasil mengecoh semua orang bahwa dia baik-baik saja. Semua yang Rindra dan Yaya lakukan padanya tidak berpengaruh padanya. Bahkan selama ini dia selalu berlagak ceria, tanpa beban dan tak ada masalah. Namun saat dia sendiri dalam sepi, pikiran-pikiran itu selalu muncul di pikirannya.

Siang itu setelah selesai dengan urusan eceng gondok, Titi mengarahkan mobil tanpa tujuan. Berkendara di siang hari mungkin bukan pilihan yang tepat, di saat matahari Surabaya menguji kesabaran setiap orang. AC mobil yang terasa dingin di kulitnya sedikit mengurangi rutukkannya saat ini. jalanan yang terlihat panas tak diindahkan, dia terus mengarahkan mobil tanpa tujuan yang jelas.

Saat mengarahkan jalan ke sepanjang jalan Sulawesi, dia mengarahkan mobil ke arah Domicile. Dia butuh mendinginkan kepala untuk menghalau pikiran buruk yang mulai datang.

Dengan berbekal buku sketsa dan drawing set dia merasa cukup untuk menyibukkan pikirannya saat ini. Setelah memesan minum dan camilan yang dia butuhkan, Titi mulai membuka buku sketsa dan mengerjakan apa yang seharusnya dia mulai semenjak beberapa hari yang lalu.

Titi mendapatkan email dari seseorang yang akan menikah kurang lebih lima bulan yang lalu. Calon pengantin itu ingin memberikan semacam seserahan kepada salah satu kakaknya. Dari email singkatnya, Titi menyimpulkan bahwa wanita ini akan mendahului atau ngelangkahin kata orang jawa. Yang membuat Titi semangat adalah, calon pengantin ini ingin menjadikan acara ini sebagai kejutan.

Membaca kata kejutan hampir saja ia menolak, karena pengalaman terakhir yang dia punya dengan kejutan membuatnya berada di titik ini. Titik di mana dia menjadi lebih sering meragukan diri sendiri, membuat apa yang sudah di kerjakan selama ini terlihat tidak berguna.

Namun dia pernah merasakan berada di posisi calon pengantin itu, ingin melakukan sesuatu yang istimewa di hari paling sempurna baginya. Mungkin menjadi bagian dari hari istimewa seseorang bisa membuatnya kembali menemukan dirinya sendiri.

Titi menghembuskan nafas yang menyesakkan dada, memikirkan bagaimana dua orang yang dia percaya sepenuh hati merubahnya menjadi orang sepicik sekarang. Menjadi orang yang tidak mudah percaya dan pesimis dalam melihat sesuatu.

"Titi!"

Suara seseorang dari samping membuatnya terkejut, pasalnya saat ini adalah jam kerja. Tidak banyak orang yang dia kenal berada di luar kantor seperti saat ini. Namun saat melihat siapa yang menyebut namanya, segera saja dia menyesali keputusannya untuk berhenti di tempat ini.

Lelaki yang hari itu terlihat rapi dan menawan tanpa topi itu melihatnya dengan senyum lebar yang membuat hatinya mencelos. Titi berpikir untuk pura-pura tidak kenal saat melihat siapa yang muncul tak lama setelah lelaki itu.

"Lho, Dek! Kok disini? Sama siapa?"

Dia tidak membutuhkan kemunculan salah satu dari kedua saudara lelakinya yang selalu menanyakan kabarnya secara berkala. Dia menyayangi kedua lelaki itu, namun terkadang mereka melihatnya dengan sorot kasihan yang membuatnya jengah dan ingin teriak sekencang yang ia bisa.

Tanpa diminta lelaki yang tidak ingin dia temui lagi itu duduk tepat di depannya dan mulai meminta seseorang untuk membawakan buku menu. Dia melirik Iras yang duduk di sampingnya sambil mengamati coretan pensilnya. Berbeda dengannya yang semenjak kecil suka membuat sketsa, Iras lebih tertarik dengan angka. Seperti halnya dengan Indra yang saat ini bekerja di salah satu instansi pemerintah yang berada di jalan Jagir.

"Kamu enggak apa-apa?"

Bisik Iras yang hanya dia jawab dengan deheman pelan. Dia tidak mau ada orang lain lagi yang mengetahui tentang kemalangan nasibnya. Karena kehidupannya bak sinetron kejar tayang yang berakhir dengan mengenaskan. Kurang apa lagi saat sahabat dan tunangan yang akan segera menjadi suaminya sibuk bergumul di atas ranjang berdua.

Pandangannya bertemu dengan kakak lelakinya yang segera saja disesalinya, karena sepintas dilihatnya lagi sorot yang paling dibenci saat ini. Titi membuang pandangan yang sayangnya jatuh pada lelaki di depannya. Untuk sesaat, dia melupakan semenjengkelkan apa sahabat kakaknya itu. Senyum di bibirnya menghilang sekejap mata saat lelaki bernama Arya itu menaik turunkan alis kearahnya. Meski lelaki itu terlihat ganteng, tapi keusilannya menghapusnya begitu saja.

"Mas kok disini?"

Titi menoleh kearah kakaknya yang mulai memilih menu makan siangnya. Dari sudut matanya, ia melihat lelaki di depannya melakukan hal yang sama meski sesekali dia terlihat melihat kearah ponselnya. 'pasti sibuk membalas pesan pacarnya,' batin Titi dengan sedikit dongkol.

Meski terlihat kekanakan, tapi tetap dilakukannya. Dia menjadi sosok yang paling benci melihat seseorang yang terlihat jatuh cinta sampai diperbudak oleh rasa semu itu. Dia sadar apa yang dirasakannya itu efek dari patah hati, tapi ia tidak peduli.

"Nemeni bujang lapuk itu kencan makan siang."

"Hah!"

Titi memandang Arya dan Iras bergantian, tidak percaya dengan informasi yang baru saja didengarnya. Lelaki yang saat ini tertawa terbahak-bahak kearah kakak lelakinya tidak terlihat malu atau bahkan terganggu dikatakan sebagai bujang lapuk. Meski bagi Titi, kedua lelaki ini semuanya masuk kategori bujang lapuk.

"Kalian kan sama-sama bujang lapuk!"

"Maaf ya adek kecil, Mas mu ini kan akan segera menikah."

"Maaf juga ya, teman Mas mu ini bukan bujang lapuk. Hanya belum ada yang cukup menarik hati saja, hingga saat ini."

Kalimat terakhir yang didengarnya seolah tertuju untuk dirinya, meski dikatakan dengan sambil lalu. Ia melirik lelaki yang jelas-jelas memandangnya dengan tersenyum dan wajah yang berseri-seri.

Dia membuang muka tak ingin melihat sesuatu yang berpotensi menjadi patah hati kedua. Semenjak bertemu untuk kedua kalinya, Titi memutar otak dan menggali ingatannya tentang lelaki sahabat kakaknya.

"Adek masih kecil sih, wajar kalau lupa. Mas Iras kan sepuluh tahun lebih tua. Waktu Ardya sering kerumah, adek masih umur berapa ... delapan atau sembilan ya. Masih SD, lah."

"Tapi masa iya aku enggak ingat sama sekali, sih, Bu! Salah Kali, tuh." Titi merasa tidak terima mengingat kehidupannya sudah pernah bersinggungan dengan lelaki tersebut

"Tunggu, Dek!" Titi terkejut saat ibunya mencengkram keras tangannya. Membuat wanita yang baru saja mematikan mesin mobil itu memandang kearah ibunya dengan melotot dan bibir yang siap untuk mengomel karena semenjak beberapa menit yang lalu, wanita di sampingnya itu hanya diam tiba-tiba membuatnya terkejut.

"Ibu apaan, to!"

"Masih ingat ndak waktu Indra kubur salah satu balok mainan kamu. Balok mainan punya Iras yang lebih kamu sayang ketimbang semua boneka yang Ibu belikan. Ingat?"

Tanpa dia sadari, saat ini Titi memandang lelaki itu lekat-lekat. Bahkan tanpa merasa harus menutupi dari kakaknya yang duduk disebelahnya.

"Dek, kamu kenapa?"

Nah lhooo ... Waktu kecil mereka pernah ketemu ternyata. Eh, iyakah?

Selamat puwagiii
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Kanthi(L) - (Repost)Where stories live. Discover now