Bab 9

2.1K 650 31
                                    

Kotak Memori

Arya menemukan kotak yang dicarinya selama beberapa hari ini. Kotak yang berisi semua kenangan masa kuliahnya. Kotak yang sengaja disimpan bukan untuk dibuka kembali setelah dia mengubur semua keinginanya. Setelah dia menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Arya tidak menyesali keputusan itu, dia hanya tidak ingin menyesal jika semua isi kotak itu masih mudah dilihatnya.

Kotak yang disimpan paling dasar lemari bajunya berisi beberapa buku, skripsi dan banyak foto saat di bangku kuliah. Satu persatu dilihatnya foto yang sudah terlihat usang, ia mencari foto yang berlatar belakang rumah Iras. Setelah menemukan beberapa lembar yang dicarinya, Arya mengamati satu persatu foto di tangannya. Hingga matanya menangkap sesosok anak kecil yang selama ini dia kira Indra.

Senyumnya terkembang saat melihat senyum anak itu belum berubah, meski terlihat banyak perubahan padanya. Pantas saja dalam ingatannya anak kecil itu Indra, karena dia hanya pernah bertemu satu adek Iras selama dia keuar masuk rumah mewah itu.

"Hai Kanthi."

"Ngomong sama siapa?"

Pertanyaan yang membuat Arya salah tingkah itu membuatnya menyenggol satu kotak yang ada di atas mejanya. Isinya berhamburan termasuk beberapa bunga kering yang ada di dalamnya. Meme yang melihat itu pun terkejut seperti halnya Arya. Pasalnya bunga yang dilihatnya sekarang adalah bunga yang selalu ada di rangkaian pengantin.

"Mas, kamu dapat itu dari mana?"

Arya memungut satu persatu bunga kering yang tersebar di atas lantai kamarnya. Saat ini dia berpikir kenapa tak pernah membuang bunga yang selalu didapatnya di setiap pernikahan yang dia hadiri. Ia tahu mitos dibalik bunga kecil yang terkadang terkesan horror itu, namun tak satupun cerita itu dia percaya.

Dia melihat Meme menghitung berapa bunga yang ada dalam kotak tersebut dan ia tertawa saat melihat mulut melongo adiknya. Wajahnya seakan tak percaya jumlah bunga yang ada disimpannya.

"Kalau enggak percaya, kenapa disimpan?"

Arya menyimpan kembali kotak itu bersama foto yang mebuatnya tersenyum sebelum Meme muncul membuat semuanya berantakan.

"Mas hanya merasa sayang saja untuk membuangnya. Itu semua pemberian pengantin wanitanya."

Sebagian besar bunga yang ada di dalam kotak itu adalah pemberian pengantin wanita yang di kenalnya. Wanita baik yang mencoba untuk dekat dengannya selama ini dan berakhir menjadi teman bukan kekasih atau bahkan calon istri. Karena selama ini Arya tidak keberatan untuk berteman dengan siapa saja, namun dia akan mundur jika melihat gelagat wanita itu menaruh hati padanya.

Itulah alasan kenapa dia tidak tega untuk membuang bunga berbentuk peluru itu. "Biar kamu ceper nyusul, Ar. Jangan kelamaan sendiri." Setiap pengantin yang disalaminya selalu menyelipkan bunga itu kepadanya. Arya menganggap itu doa yang mereka panjatkan untuknya, meski sampai saat ini pernikahan tidak ada dalam agendanya.

"Mas enggak pengen gitu? Nikah, punya anak."

Setiap kali salah satu wanitanya menyinggung tentang pernikahan selalu diiringi dengan sorot mata kasihan seperti yang dilihatnya pada Iras saat makan siang bersama adiknya waktu itu. sama seperti Titi yang terlihat tidak nyaman melihat sorot mata kakaknya, Arya merasakan hal yang sama saat ini.

Kuatir yang dilihat pada sorot mata Meme membuatnya tidak nyaman. Karena apa yang dilakukannya selama ini untuk mereka berempat bukan sebuah pengorbanan namun kewajiban yang dilandasi dengan kasih sayang.

"Dek, Mas tetap percaya bahwa setiap orang sudah ada jodohnya masing-masing. Sekarang, besok atau bahkan saat ada di surga, pasti akan dipertemukan. Hanya masalah waktu, dan Mas enggak keberatan menanti. Kamu tahu kenapa?"

Meme menunduk dan mengaitkan tangannya, "Karena Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita."

Arya tersenyum mendengar jawaban adiknya. Ia tahu saat ini ada kesedihan terselip di hati gadis yang akan segera dipersunting Adit ini. Namun ia juga tahu sebanyak apapun dia membuat semua orang berhenti mengkuatirkan dirinya, sebanyak itu pulalah kekuatiran yang mereka tunjukkan.

"Adit kemarin sore datang ke warung."

Saat ia menyebut nama lelaki yang telah meminta ijin untuk meminang adiknya, ada air mata yang segera ia hapus dari pipi adiknya. Adik kecil yang akhirnya siap untuk diserahkan pada lelaki yang bertanggung jawab akan kebahagiaannya setelah hari itu. Lelaki yang membuat Arya tenang untuk meneruskan menjaga adiknya.

Dari sudut mata, ia melihat ibunya bersandar di ambang pintu kamarnya. Kamar kecil yang didominasi warna coklat itu sangat jarang dimasuki oleh kedua wanita di dalam rumah ini. karena buatnya, kamar ini daerah teritori yang harus dia bersihkan sendiri.

Ia mengajak Meme dan ibunya untuk duduk mengelilingi meja makan. Karena sudah saatnya mereka berbicara tentang acara lamaran yang Adit minta dilaksanakan minggu depan.

"Dek, siap?"

Arya melihat pipi Meme memerah, entah karena malu atau bahkan efek dari tangisan yang ditahannya saat ini. Ia menarik tangan adiknya. Tangan yang selalu digengamnya sepanjang jalan menuju gerbang sekolah SD yang tak jauh dari rumah mereka. Bahkan di minggu pertama sekolahnya, hanya Arya yang boleh mengantar dan menjemputnya.

Ada sedih yang terselip di hatinya membayangkan mungkin setelah ini akan jarang dia menggenggam tangan adiknya seperti ini. wajah lembut Meme lah yang membuatnya yakin untuk melepas mimpinya demi mereka berempat.

"Tapi Mas gimana?"

Arya tahu hal itulah yang selalu dipikir semua adik-adiknya sesaat sebelum memutuskan untuk menerima pinangan seseorang. Seolah dengan menerima pinangan seseorang membuat mereka bersalah meninggalkan dirinya. Yang mereka tidak tahu adalah, Arya lega bisa melepas adiknya satu-persatu.

Ia menyerahkan urusan lamaran kepada ibu dan adik-adiknya. Ini adalah acara terakhir keluarga mereka, lelaki itu tidak ingin Meme merasa menjadi beban baginya. Karena yang Arya rasakan saat ini adalah tanggung jawab besar yang akan segera dilepaskannya. Hatinya merasa sedih dan bahagia dalam waktu yang bersamaan.

Kotak memori masih tersebar di atas ranjang saat dia kembali memasuki kamar yang tidak ada sentuhan wanita sama sekali didalamnya. Isinya berdasarkan fungsi, bukan sekedar pajangan yang indah dimatan tapi tidak bisa difungsikan.

Matanya kembali memandang anak kecil yang tersenyum dalam gendongan di pundaknya. Lelaki itu tidak bisa mengingat acara apa yang mereka adakan waktu itu, satu hal yang dia ingat semua anggota keluarga Iras sedang merayakan sesuatu dan dia yang sudah biasa keluar masuk rumah mereka menjadi bagian dari acara perayaan itu.

Matanya tak bisa beralih dari bocah mungil yang duduk di pundaknya, dengan tangan direntangkan dan senyum terlebar yang pernah dilihatnya. Senyumnya terbit membayangkan reaksi Kanthi saat dia menunjukkan foto ini. tanpa bisa ditahanya lagi, Arya mengetikkan sebaris pesan pada seseorang yang tidak memerlukan waktu lama untuk membalasnya.

Iras
Mau ngapain tanya nomer Kanthi?
Mau apa kamu! Jangan aneh-aneh, Ar. Dia adikku!

Ada titipan

Iras
Bisa dititip sama orang kantor, kan?

Dari Tenggilis ke rumahmu jauh lebih dekat ketimbang kantor kamu!

Iras
Ya udah anterin kerumah!

Ras, nomer telepon Kanthi. Sekarang!

Arya tersenyum dengan penuh kemenangan saat tak lama kemudian pesan Iras berisi sebaris nomer yang membuatnya bersemangat untuk menanti esok hari.

Dikit ya?
Iyalah ... Kalau mau banyak, berarti update nya jarang-jarang, ntar. 😂😂😂

Have a blessfull Sunday guys
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Kanthi(L) - (Repost)Where stories live. Discover now