Chapter 8: Silenced

3.2K 407 32
                                    

Tiga hari berlalu ketika si penyidik muda bertandang di kediaman Leonhart. Jeno mencoba memasang senyum selama waktu tersebut berjalan—meskipun urat di kepalanya menegang, menonjol seperti akar pepohonan di hutan.

Ia mencoba bersikap baik selama rencana berjalan. Bersikap layaknya Tuan Muda yang berwibawa, menjelaskan sesuatu yang tak dipahami Lucas sesekali membawanya berkeliling mansion. Jeno mati-matian bertahan layaknya seutas tali yang menahan berat ribuan kilogram beban.

Ayahanda berkali-kali mengingatkan untuk tak menjadi mencolok, dan Jeno berhasil. Pria jangkung itu seperti tak menyadari keanehan, atau mencium aroma amis tak mengenakkan.

Tentu saja berhasil, memasang topeng seperti ini memang bagian dari latihan yang Jeno alami.

Apa jadinya jika penerus keluarga Leonhart tak mampu melakukannya? Bisa jadi mansionnya runtuh dalam sekejap.

"Aku sudah tak sabar melihat tikus itu pergi dan segera mengganti teh-ku." Jeno berucap sambil mengangkat cangkir teh untuk ia nikmati aromanya.

Si Earl muda itu menggerutu dalam ruang kerja sang Ayah. Ditemani secangkir teh asam—Jeno menyebutnya demikian—dan permainan catur di atas meja.

"Berpura-pura menikmati teh buah ini adalah yang tersulit daripada tugas lain yang diberikan Ayah." Keluhnya lagi.

Vincent tertawa menanggapi. Lantas ia menggeser bidak catur untuk maju selangkah.

"Ayah pun harus sabar tak mengurusi bisnis underground untuk sementara."

"Apa ayah tak bisa mempercepat rencana? Aku ingin segera mengundang Mark dan Chris untuk makan malam disini."

"Bisa saja, tapi akan ada resiko nanti."

Jeno mengadah, menatap manik biru ayahnya. "Resiko seperti apa?"

"Seperti.. banyak. Akan ada resiko kecil seperti sebuah rahasia yang terbongkar, hingga yang terbesar."

Kening si sulung mengernyit, tak mengerti. "Apa yang terbesar?"

"Kehancuran keluarga kita." Lanjut ayahanda, yang membuahkan pandangan tak biasa dari si sulung Leonhart.

"Hahaha.. Ayah bercanda. Jangan terlalu terbawa suasana." Manik matanya menyipit, dengan kedua sudut bibir yang terangkat. Vincent mencoba mencairkan suasana tegang karena emosi sesaat dari putranya.

"Giliranku." Sahut Jeno singkat. Ia menggerakkan Kuda, salah satu bidak yang menarik perhatiannya saat ini.

Vincent menyeringai. "Pilihan bagus, kau akan kehilangan ratu-mu sekarang." Ia lantas menggerakkan pionnya maju, menyingkirkan satu-satunya pion Jeno.

"Skak mat.."

Jeno membelalakkan matanya. "Bagaimana mungkin."

"Kau terlalu fokus mengerahkan prajurit, sehingga menciptakan ruang bagi pion lawan untuk maju. Semua pion adalah milikmu, kau hanya perlu mengatur strategi agar tak ada cacat yang terekam jelas." Jelasnya.

"Bagaimana dengan pembelajaranmu? Apa kau sudah menguasai etika bisnis dan isinya?" Lanjut Vincent lagi.

Yang diajak bicara mengangguk. "Minggu depan aku akan mulai menghandle bisnis kecil, dan turun langsung ke pabrik untuk mempelajari isinya. Mungkin aku butuh sedikit waktu lebih untuk menguasai semuanya." Jelas Jeno.

𝓐𝓭𝓸𝓵𝓮𝓼𝓬𝓮𝓷𝓬𝓮 | Nomin Fanfiction Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang