"Shinpai shinaide, daijobu desu yo."

4.7K 960 250
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

MESKIPUN ini bukan pertama kalinya gue menginjakkan kaki di Tokyo, but since Tokyo is one of the largest metropolitan area in the world, tetep aja gue berasa di planet lain. Terutama di Kota Setagaya yang belum pernah gue kunjungi ini. Sepanjang perjalanan menuju city hall yang cuma satu kali bus selama 20 menit, gue bengong melihat papan reklame bangunan, reklame, poster, rambu-rambu, penunjuk jalan, bahkan informasi jadwal pada panel digital dalam bus ditulis dengan kanji.

Kanji is everywhere.

Kabar baiknya adalah gue nggak buta sendirian. Tanpa pendampingan Rei, kami nggak lebih dari sekelompok WNA tersesat yang berpanutan pada Google Maps. Rei adalah koentji.

Nyaris setiap menit ada aja pertanyaan yang dia dapat bergantian dari kami, termasuk gue. Nggak masalah, sih. Cuma gue males dengernya kalau yang nanya si Pita, mereka bisa ngobrol seru dan panjang berasa dunia milik berdua. Bukan, gue bukan cemburu. Gue nggak bisa mendeskripsikannya dengan benar, gue cuma bisa bilang gue eneg.

Gue meraba jidat yang mendadak berdenyut lagi gara-gara benturan semalam. Sigh.

Sampai di city hall, kami dipersilakan duduk di ruang tunggu depan loket registrasi residen baru. Sebenarnya Rei sudah bilang bahwa hanya dia yang perlu ke city hall (karena kami menggunakan alamat rumahnya), dan Pak Hamdan sebagai perwakilan, tapi kami semua sepakat menemani mereka. Just in case we're needed. Lagian kami bisa jalan-jalan di sekitar sambil menunggu.

Mas Eko dengan senang hati mengelilingi setiap lantai city hall. Yang perempuan sepertinya udah nyaman duduk di depan AC pemanas. Gue sama Pin berencana ke konbini* dekat sini, tapi kemudian Pin nyuruh gue duluan karena harus terima urgent call dari manajemennya.

* convenience store / minimarket

Kabut putih keluar lagi dari hidung gue begitu menginjakkan kaki di teras. Salju turun tipis-tipis meski matahari pagi ini cerah sekali. Angin yang bertiup membuat gue merapatkan topi dan bergegas menyusuri trotoar. Seharusnya ada 7-Eleven sebelum halte—

"Waalaikumsalam."

Gue menoleh tanpa berhenti. Pita berjalan di sisi gue, menyerongkan tatapan sejutek biasa yang bikin gue pengin ngunyah dia.

"Telat nggak, sih, kalau gue bilang 'assalamualaikum'?"

Dia menyeringai. "Itu buat Tante sama Sri. Ada salam buat saya, kan? Saya jawab waalaikumsalam."

Gue tertawa mengembuskan asap putih. Salamnya kapan jawabnya kapan, Nona?

Kami menyeberangi zebra cross dan beberapa langkah kemudian masuk ke 7-Eleven. Tujuan awal gue cuma kopi panas, tapi ngekorin Pita keliling dari rak ke rak seperti ini bukan pilihan buruk. Dia cuma melihat-lihat tanpa menyentuh apapun. Sesekali dia terdiam, mengernyit lama di depan satu barang. Tapi buat gue hidung merahnya yang berkerut itu lebih menarik daripada semua barang di sini.

Kami sampai di rak permen lalu matanya membulat. Dia mengambil dua penyengar napas beda merek bersamaan. Dia mengamatinya satu-persatu, membolak-balik seakan menimbang sesuatu.

"Yang C," ujar gue, menyebutkan merek permen di tangan kirinya. "Yang C considered safe. Yang L mengandung gelatin hewani which is considered haram."

Dia melirik gue. "Tau dari mana?"

"Lo ngobrolin ini tadi sama Rei, gue denger."

"Saya nggak tau Kak Hans nyimak juga," gumamnya. Of course gue menyimak meskipun eneg. "Jadi, Mas Rei bilang yang C ini boleh? Bukan L, ya? Saya lupa."

Sakura Kiss 🌸 [END]Where stories live. Discover now