"For better or worse."

4.4K 1K 394
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"BESOK rencananya gue pakai kalung ini, masuk dong sama high bun kita?"

"Masuk banget, apalagi leher lo tinggi mulus. Pasti cakep! Itu kalung dari Kak Hans juga?"

"Yap, salah satu good luck charm dari kesayangan. Gemes banget, tiap ngebeliin apa-apa dia bilang good luck charm. Biar dipakai terus sama gue, katanya."

Meski kecil, tawa seru Kak Sashi dan ketiga temannya terdengar jelas dari tempatku. Good luck charm dari Kak Hans, ya? Aku juga punya. Wilhelmina Pepermunt di tanganku ini. Aku mencari di internet, rupanya ini permen asli dari Belanda. Pas dengan bungkusnya yang dominan biru-putih. Pantas saja Kak Hans bilang permen ini nggak dijual di Indomarem dan kalau mau minta harus ke dia.

Dua bulan yang lalu saat perpisahan adalah terakhir kalinya aku bertemu Kak Hans. Kurasa nasib nggak akan sebaik itu memberiku kesempatan kedua bertemu lagi dengan cinta pertama, apalagi sampai membuatnya menyukaiku juga. Too good to be true. Untuk sekarang, Wilhelmina Pepermunt yang cuma satu-satunya ini kusimpan sebagai kenang-kenangan.

Kukembalikan good luck charm itu dalam saku kemeja, lalu menyandang ransel. Aku harus segera pulang. Aku ingin makan malam yang enak, menamatkan Detektif Conan terbaruku, lalu tidur lebih awal yang nyenyak. Besok adalah hari-H JHSC. Aku nggak berharap banyak untuk menang, tapi aku nggak boleh mengecewakan Bu Ningsih dan yang lain dengan mempersiapkan diri yang terbaik sebagai center diva grup.

Terlebih, aku mau Kak Hans tersenyum waktu menonton performance kami nanti meski cuma melalui dokumentasi video. Semoga.

Aku menghampiri Kak Sashi dan ketiga temannya, bermaksud sekadar menyapa dan berpamitan pulang, tapi saat melihatku datang, mereka berempat terdiam. Kak Sashi beranjak dari duduknya.

"Ini punya lo?" Kak Sashi menyodorkan buku paranada dengan namaku pada kovernya. Rasanya aku nggak mengeluarkan buku itu dari tas hari ini.

"Iya, punya saya. Makasih, Ka—" Mau kuambil, tapi Kak Sashi menjauhkan buku itu.

Kak Sashi menggulung bukuku lalu tersenyum. Begitu pula Kak Tiara, Kak Maria, dan Kak Wulan. "Ikut kita dulu. Gue mau ngomong sesuatu."

Senyuman mereka aneh. Aku nggak suka.

Aku menelan ludah. Bagaimana pun, aku harus mengambil buku paranada itu. Bisa gawat kalau mereka tahu halaman belakangnya. Tunggu, jangan-jangan aku dipanggil karena mereka sudah tahu?

Aku mengikuti mereka sampai gudang tua di belakang gedung aula. Gudang yang sudah nggak digunakan lagi, kosong, berdebu, pengap, dan minim cahaya. Tempat ini menyeramkan. Aku nggak suka. Aku mau pulang. Tapi bukuku ....

Kak Wulan menutup pintu. Kak Maria dan Kak Tiara berdiri di belakangku. Kak Sashi berdiri di hadapanku. Selama ini, Kak Sashi selalu tersenyum dan menyapaku dengan ramah, tapi siang ini seringainya benar-benar berbeda. Aku hampir menunduk ketika dia mendekat hingga ujung sepatunya menginjak sepatuku.

"Lo yang nulis ini?" Dia mengangkat bukuku yang terbuka pada halaman belakang.

Keringat meluncur deras dari pelipisku. Ada apa? Kenapa mereka mengepungku?

"Jawab!"

"Iya—" aku menunduk dalam. "Iya, saya, Kak ...."

"Baca!" Kepalaku dipukul buku. Aku berjengit. Tangan gemetarku spontan menangkap buku itu.

Sakura Kiss 🌸 [END]Where stories live. Discover now