"Kamu masih punya aroma rumahku."

4.9K 1K 407
                                    


Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

DENTING piano sayup-sayup menyapa telingaku dari luar ruang ekskul paduan suara. Hanya ada sepasang Air Jordan di rak sepatu. Aku tahu pemiliknya. Aku melepas dan meletakkan sepatuku di sampingnya.

Aku menggeser pintu, menemukan Kak Hans duduk di balik grand piano hitam di sudut ruangan. Kedua lengannya bergerak-gerak di atas tuts. Dia melirikku sekilas bersama senyuman dan gerakan dagu yang berarti menyuruhku masuk, lalu fokusnya kembali pada Mozart's Symphony no. 40 1st movement dalam tempo sedang. Kurasa andante.

Aku diam menunggu di sisi piano. Sementara telingaku dimanjakan permainannya, mataku juga nggak bisa berkedip melihat sosoknya. Kemeja yang dikeluarkan dengan semua kancingnya terbuka. Rambut ikal yang kering dan mencuat di beberapa bagian. Sepuluh jari-jari panjang yang menari di atas tuts untuk menciptakan harmoni. Kedua mata yang menatap lurus, memahami baris-baris notasi pada selembar kord Symphony no. 40 dengan serius. Aku pengin jadi kord itu.

Tapi, setelah Kak Hans selesai dan dia tersenyum untukku, aku malah menunduk. Refleks. Tolong lah, senyumnya itu datang tanpa diundang di mimpiku semalam. Aku deg-degan sejak kemarin karena ini adalah hari pertama Kak Hans akan melatihku. Di ruangan ini, berdua saja dengan CCTV.

"You know, Pita, selama nyanyi, Bu Ningsih sering minta kita pasang sikap tegak lurus lantai, head to toe, sambil mengangkat dagu. Keluarkan suara lurus ke depan, bukan bawah. Apa tujuannya?"

Aku menengadah, menatapnya lagi. "Supaya jalan keluar suara tidak melengkung dan terbuka maksimal."

"Benar." Sepasang lesung pipi muncul waktu Kak Hans tersenyum lagi. Dia menggeser duduk ke kiri, lalu menepuk tempat kosong di sisi kanannya. "Duduk sini."

Aku menahan napas. Duduk bareng?

"Ngg ... nggak nyanyi sambil berdiri, Kak?"

"Nggak, kita cuma main piano. Here, sit down."

Menuruti instruksinya, aku duduk sedikit di ujung. Aku takut jantungku yang berisik ini terdengar kalau terlalu dekat.

"Saya nggak bisa main piano, Kak."

"Belum pernah sama sekali?" Dia mengambil bundelan partitur, membuka halaman lain, berhenti pada Johann Sebastian Bach's Air on the G String.

"Cuma bisa satu tangan." Aku mengangkat tangan kanan.

Dia mengangkat tangan kiri. "Gue temenin."

Sejujurnya, permainan Symphony no. 40 Kak Hans tadi sempurna. Aku takut nggak bisa mengimbanginya dan malah mengacaukan harmonisasi. Tapi baiklah, sebagai kandidat center diva, aku nggak mau mundur. Aku mengawali Air on the G String dengan menekan tiga nada tinggi sesuai yang tertera pada partitur.

Kak Hans menyambung dengan menekan empat nada rendah bergantian. Sebelum aku sempat berpikir, semua mengalun begitu saja secara natural. Setiap denting terdengar sederhana namun begitu mengalir. Mungkin Kak Hans yang menyesuaikan kemampuannya denganku, atau memang kami telah menemukan keselarasan ritme satu sama lain. Lengan kami yang bersinggungan menghapus jarak yang sempat kujaga.

Rasa hangat dalam dada membuatku tersenyum, sampai ketika kami memasuki pre-chorus, Kak Hans melantunkan vokalisasi a-a-a dengan suara bass-nya pada suara dua. Terdengar lembut, tapi sedikit mengganggu karena terasa kurang. Aku melengkapinya dengan vokalisasi suara satu yang keluar begitu saja dari mulutku. Semudah itulah dia memancing nyanyianku.

Sakura Kiss 🌸 [END]Where stories live. Discover now