"Nomor gue kagak di-save?!"

4.5K 1K 346
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

AKU benci keramaian, apalagi berada di tengah-tengahnya sebagai pusat perhatian.

Aku bergegas turun dari panggung setelah Bu Ningsih meresmikan tim yang akan berangkat mewakili sekolah pada JHSC. Berdiri sendirian paling depan membuatku pusing. Tapi, beliau memanggilku naik lagi karena belum foto bersama. Semua orang di ruang padus tertawa. Aku benci ditertawakan.

Cuma Kak Hans yang nggak menertawakanku. Kak Hans mengangkat kedua jempol tinggi-tinggi disertai senyuman lebar untukku. Demi Kak Hans, aku berusaha keras tersenyum sambil melihat kamera hapenya Bu Ningsih. Anggota tim lain berebut ingin melihat hasilnya. Aku nggak mau dan langsung turun panggung. Mukaku pasti paling aneh di situ.

Aku mau kembali ke bangku di pojok ruangan itu sampai acara selesai, tapi di tengah jalan seseorang menghentikanku. Satu-satunya anggota padus yang peduli padaku.

"Congrats, Pit, you rock!" Mungkin ini keseratus kalinya Kak Hans bertepuk tangan menyelamatiku setelah seleksi center diva minggu lalu. Tapi, aku nggak pernah bosan sama mata biru gelapnya yang menyipit seperti sabit dan lesung pipinya itu.

"Makasih, Kak Hans." Aku ingin membalas senyumnya dengan cantik, minimal natural, tapi kenapa pipiku kaku sekali, sih? "Ka-kakak juga ... ngg, anu ...."

"Gue nganu?" Dia menunjuk diri sendiri.

"Maksud saya," kupalingkan muka yang pengap, "Kakak juga keren ... sudah lulus dan keterima di ITB. Selamat." Astaga malunya. Aku nggak pernah memuji cowok.

"Thank you, Pit." Dia santai menepuk lenganku. Cowok seperti Kak Hans pasti sudah biasa dipuji. "Iya, nih, hari terakhir gue di Bani Bastari sebagai student. Besok harus ke Bandung ngurus ini-itu." Dia mendesah panjang. "Yaaah, nggak bisa lihat lo latihan lagi. Nggak bisa lihat persiapan lo. Nggak bisa datang pas hari H nanti ...."

Sekarang, mataku yang memanas.

Acara padus hari ini, selain peresmian formasi tim JHSC, juga perpisahan dengan para senior kelas 12. Termasuk Kak Hans. Jadi, cuma begini saja? Ini hari terakhirku bertemu Kak Hans? Harus selesai di sini?

Merasa kehilangan seseorang yang bukan punyaku itu bodoh, nggak, sih?

"Kak Hans semangat kuliahnya!" Bagaimana pun, Kak Hans sudah banyak membantuku selama dua minggu ini. Sangat. Aku nggak boleh bergantung dan mengecewakannya. "Saya juga nggak sabar mau mulai latihan intensif sama Bu Ningsih dan Temen-temen. Pasti seru. Minta doanya aja buat tim Simfoni Bastari, Kak, semoga semuanya lancar."

Aku tersenyum lepas, nggak ingin jadi beban bagi kepergian Kak Hans meski seringan apapun.

Kak Hans tersenyum, terdiam cukup lama mengamatiku. Apa aku salah bicara?

"Dua minggu yang lalu, lo masih nunduk setiap papasan sama semua orang. Gue harus membungkuk supaya bisa ngomong face to face gini. Sekarang udah nggak perlu."

Begitukah? Aku nggak tahu sejak kapan aku mulai menatap orang-orang, bukan lantai atau tanah.

"Dua minggu yang lalu, lo cuma mau nyanyi di belakang punggung anak-anak lain. Sekarang lo bisa, lo nggak mundur waktu kemarin tampil sendirian, di tengah, disaksikan seenggaknya puluhan orang. Gue—" Kak Hans menyugar rambut, menahan senyum dengan menggigit bibir, "I don't know. Lo yang berprogress, kenapa gue yang excited?"

Senyumku ikut mengembang. "Karena Kak Hans orang baik. Dukungan Kakak sudah banyak membantu saya. Terima kasih, Kak."

"Dukungan gue nggak ada artinya tanpa kemauan dari dalam diri lo sendiri. Ibarat azan atau alarm yang ngebangunin lo subuhan. Lo punya pilihan untuk tidur lagi, tapi kalau tekad lo kuat, lo pasti bangun dan melakukan apa yang harus dilakukan. Suatu saat nanti lo nggak butuh pengingat apapun buat bangun, karena tekad lo sudah menetap sebagai good habit."

Sakura Kiss 🌸 [END]Where stories live. Discover now