Tatapan

432 116 366
                                    

"Apa itu empati?"
-Aurelia-

*****

Malam ini Winter tengah sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa oleh anak bungsunya untuk PERJUSA (Perkemahan Jumat Sabtu).

Winter sangat hancur ketika mengetahui bahwa Iel telah membeli jaket dan ransel baru, dengan uang celengannya sendiri. Iya, Iel berbohong kepada ibunya.

"Apa aku sudah tidak seberguna itu kah? Hingga anakku harus memecahkan celengannya?" batin Winter.

Dipandang dan dielusnya si anak bungsu yang sudah lelap tertidur. Tanpa sengaja, Winter meletakkan tangannya di atas dada sebelah kiri Iel. Alangkah terkejutnya ia ketika tidak merasakan detak jantung sang anak. Winter segera segera memindahkan tangannya itu ke pergelangan tangan Iel. Winter membelalakan matanya ketika ia juga tidak merasakan denyut nadi di pergelangan tangan Iel.

Tak ingin segera menyimpulkan, Winter memberanikan diri untuk meletakkan jari telunjuknya di dekat lubang hidung Iel.

Winter sedikit bernapas lega, karena ia masih bisa merasakan hembusan napas dari hidungnya  Iel.

"Dek?" panggilnya untuk memastikan bahwa putrinya benar-benar baik-baik saja.

"Hm," gumam Iel.

Winter menarik napas lega. "Mungkin tanganku kapalan. Hari ini kan aku nyuci baju pake tangan," ucapnya berusaha berpikir positif.

******

Keesokan harinya
10.00

Iel dan teman-temannya sudah sampai di tempat kemah. Mereka berkemah di salah satu puncak yang tak jauh dari Jakarta.

Iel tergabung dengan regu melati, bersama dengan Elza dan keempat dayang-dayangnya.

"Eh kalian yang cepet dong diriin tendanya," gerutu Elza kepada teman-temannya.

"Kalo mau cepet, bantuin dong jangan cuma diem sambil ngemil," sahut Iel sambil mengikat tali simpul.

"Aku kan pemimpin regu. Jadi wajar dong aku cuma diem aja." Elza membela diri.

Dari awal Iel memang sudah mengira akan seperti ini. Tetapi keputusan pemimpin regu utama itu mutlak adanya dan tidak bisa diganggu gugat lagi.

Jika saja Elza tidak masuk daftar permainan itu, Iel bersumpah akan membunuhnya sebelum ia membunuh Tika. Tetapi aturan Bunda Pluto sama halnya dengan keputusan pemimpin regu utama. Mutlak.

"Heh anak baru! Ambil air gih ke sungai mau cuci muka nih," titah Elza sambil menngipasi wajahnya dengan telapak tangannya.

Iel menarik napasnya malas. Lalu, dengan langkah terpaksa ia mengambil ember kecil berwarna hitam dan berlalu begitu saja menuju sungai.

Iel menurut bukan karena ia segan kepada Elza. Ia hanya malas berlama-lama dengan anak itu. Memandang wajahnya saja Iel sudah ingin muntah.

Di tepi sungai

Iel mengambil air tidak sendiri melainkan dengan seorang anak perempuan dari regu lain. Namanya Intan.

Tepi sungainya penuh dengan lumut, batu-batu besar yang seharusnya berwarna dominan hitam berubah menjadi dominan hijau.

Satu hal yang Iel sukai dari sungai ini, walaupun ia baru pertama kali ke sini, yaitu katak. Anak itu sangat menyukai hewan amfibi satu ini. Entah apa alasannya, ia suka saja.

Gudubrak!

Byur ...

Iel refleks menoleh ke arah sumber suara.

Intan jatuh tersungkur dengan baju yang basah kuyup. Sepertinya air yang ia bawa tumpah saat ia terpeleset dan membasahi dirinya.

Bukannya menolong Iel malah langsung mengalihkan pandangannya. Lalu, berjalan menuju tempat perkemahan.

"Heh kamu!" panggil Intan sedikit berteriak.

Iel menoleh dan menampakkan wajah tanpa ekspresi.

"Tolongin kek! Lututku berdarah, bantuin bangun dong!" pintanya sambil mendengus kesal.

"Kamu masih punya tenaga buat bangun, udah jangan marah-marah. Mending dipake buat bangun tenaganya," sahut Iel santai lalu pergi begitu saja.

00.30

Murid-murid lain sedang mengikuti kegiatan jurit malam, hanya Iel yang tak ikut serta kegiatan tersebut. Iel beralibi bahwa ia sedang tidak enak badan. Padahal sebenarnya ia sedang bingung memikirkan hati siapa yang akan diberikan kepada Bunda Pluto.

Anak itu sekarang lebih memilih bertatap-tatapan dengan seekor katak di tepi sungai. Matanya sangat dalam menatap sang katak, yang sepertinya itu katak jantan.

Beberapa saat kemudian ia mengalihkan tatapannya ke arah bulan yang sedang bertugas menyinari malam. Tatapan anak itu sangat sendu sekarang. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin berhenti dari semua ini. Keinginannya dari dulu hanya satu sebenarnya. Ia hanya ingin berpamitan kepada Winter dan kedua kakaknya.

"Dek?" panggil seseorang dari belakang.

Refleks. Iel menoleh ke arah sumber suara.

Tanpa menunggu sahutan dari Iel orang itu duduk di samping Iel.

Orang itu adalah Aksa, kakak pembina pramuka di sekolah Iel. Aksa dikenal sangat ramah dan peduli terhadap sesama. Terutama kepada anak perempuan cantik seperti Iel.

"Lagi ngapain di sini? Katanya lagi sakit," tanya Aksa dengan tatapan khawatir.

Iel tak menjawab. Anak itu malah menatap kembali sang katak sedari tadi setia duduk di atas batu sungai.

Dari sikap Iel yang seperti ini, Aksa paham betul jika Iel sedang ada masalah.

"Lagi galau ya kamu? Hayo pasti masalah cowok," goda Aksa.

Namun Iel masih setia menatap sang katak. Tak sedikitpun ia berpaling darinya.

Hening ...

5 menit

10 menit

20 menit

"Kalo kamu mau curhat aja. Atau kalo butuh bantuan bilang aja. Kakak siap membantu," ucap Aksa memecah keheningan.

Mendengar hal itu Iel menoleh ke arah Aksa sambil tersenyum. "Beneran?"

Aksa menganggukkan kepalanya dengan diiringi senyuman manisnya.

Tanpa menunggu lama, Iel menjentikkan jarinya tepat di depan mata Aksa. Detik itu juga, Aksa menatap ke depan dengan tatapan kosong. Matanya tak berkedip sama sekali.

Dengan cepat Iel membaringkan tubuh Aksa. Lalu, ia mengambil sebuah bolpoin dari kocek baju Aksa.

Jleb!

Dengan sangat perlahan Iel menarik bolpoin yang menancap pada leher Aksa dari kiri ke kanan.

"Terima kasih atas bantuannya Kak Aksa. Sekarang aku udah gak galau lagi," ucap Iel sambil tersenyum menatap Aksa.

Iel mengambil ponsel dari kocek celananya. Lalu, meneka dua belas digit angka di sana.

"Halo Bunda! Hati segar siap diantar."

******






Genius | Misteri ✔Where stories live. Discover now