10 Hari Lagi

318 64 356
                                    

•PART INI TIDAK BERMAKSUD MENYINGGUNG DAN MENYESATKAN

"Ada yang mau nulis wasiat?"
-Aurelia-

*****

Malam ini hujan turun sangat deras. Seolah-olah memerintahkan kepada penduduk bumi untuk tidur nyenyak dengan selimut.

Namun, perintah itu tak dihiraukan oleh Winter. Bagaimana tidak? Anak sulung sekaligus anak lelaki satu-satunya belum pulang sampai saat ini. Padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul jam sebelas malam.

Sedari tadi janda tiga anak itu mondar-mandir di teras rumah.

"Mama?" panggil seseorang dari belakang.

Winter menoleh, lalu tersenyum ketika mengetahui itu Iel.

"Dedek takut, ujannya gede banget. Dedek bobo sama Mama ya," pinta Iel sambil menatap Winter penuh harap.

Winter hanya mengangguk, lalu menggiring Iel masuk ke dalam.

Dua puluh menit berlalu, Iel sudah terlelap dalam tidurnya. Namun tidak dengan Winter. Permintaan Iel untuk tidur bersama justru membuatnya overthinking.

Apa psikopat takut dengan hujan?

Entahlah, sampai sekarang rencana untuk membawa Iel ke psikiater belum terlaksana. Bukan Winter tak punya waktu atau uang, hanya ia takut tak akan mampu menerima kenyataan jika memang benar putri bungsunya itu psikopat.

Akhir yang tetap sama. Winter hanya bisa menghela napas dan memejamkan mata, berharap segera menemukan titik terang tentang masalah ini.

Sambil mendekap putri bungsunya, Winter menangis tak bersuara.

Apa seberat ini kah karma yang harus aku terima?

Tanpa ibunya ketahui anak kecil itu juga ikut menangis tanpa suara.

"Mama, sebenernya aku tuh gak takut hujan. Cuma aku pengen di deket Mama, karena sepuluh hari lagi aku pergi," batin Iel.

*****

Malam ini Elza sedang gelisah. Pasalnya ia khawatir kalau rankingnya akan turun dan semua orang akan tahu kalau selama ini semua nilainya hasil mencontek.

Tak sampai di situ, ia juga khawatir jika nanti saat perkumpulan keluarga akan di olok-olok karena rankingnya atau lebih buruknya lagi, ia tak mendapatkan ranking sama sekali

Keluarga Elza memang bisa dibilang keluarga terpandang. Bagi mereka nilai akademis adalah segalanya.

Jauh sebelum mengenal dayang-dayangnya Elza selalu dikucilkan oleh para sepupunya. Alasannya karena Elza tak masuk tiga besar di sekolah.

Dan sekarang Elza tak mau itu terjadi lagi.

Elza melirik ke arah benda pipih berwarna hitam, seketika ia langsung teringat dengan pesan singkat yang terima beberapa hari lalu.

"Masa kaya gini doang, aku bunuh diri sih?"

*****

Fany melangkahkan kakinya ke dalam kamar sang adik, ia tak akan pernah bisa tidur jika belum membelai rambut adiknya itu.

"Dek?"

Sang adik yang sedang membaca pun menoleh.

"Lagi belajar apa?"

"Matematika," jawab sang adik singkat.

"Oh, boleh kita ngobrol sebentar?"

"Boleh."

Fany mengeluarkan sebuah buku tabungan berwarna putih dan bermotif batik dari saku celananya. "Beberapa tahun lalu, Kakak putusin nabung khusus buat kamu. Sekarang tabungannya udah cukup banyak. Mungkin ini cukup buat biaya hidup kamu sampe lulus kuliah. Kamu simpen ya."

Adiknya terkekeh kecil." Kakak ngomongnya udah kaya lagi wasiat aja."

Fany tersenyum hambar.

"Andai kamu tahu kalo Kakak sepuluh hari lagi akan pergi."

*****

Tak jauh berbeda dengan Elza, Septi pun sedang meratapi nasib nilainya. Sambil menghapusi beberapa pesan whatsapp yang sudah lama. Ia terus-menerus memikirkan nasib pendidikannya.

"Duh, semester depan pasti aku gak dapat beasiswa lagi," gumamnya.

Hingga pada akhirnya jarinya meng-klik pesan singkat yang ia terima beberapa hari lalu.

Septi terkekeh konyol. "Emang ada ya orang mau join grup ginian?"

"Eh kok malah kepencet bergabung sih?"

"Kakak sini bantuin Ibu!" teriak ibunya dari arah dapur.

"Iya, Bu," sahut Septi sambil meletakkan ponselnya begitu saja di atas kasur.

*****

Bunda Pluto tersenyum miring melihat notifikasi di ponselnya. Ia tak menyangka Septi akan secepat itu masuk ke grup.

"Pluto?"

Bunda Pluto menoleh cepat. "Iya, Mi?"

"Para donatur sudah mentransfer uangnya. Sepertinya Dewi Fortuna sedang ada di pihak kita," ungkap Mami sumringah.

"Memang berapa uang yang mereka beri?"

"Total semuanya tiga triliun."

Senyum bahagia terlukis di wajah Bunda Pluto.

"Tapi sepertinya kita harus membeli beberapa alat lagi, agar permainannya semakin seru."

"Itu bukan hal yang sulit serahkan saja kepadaku."

"Kau memang selalu bisa diandalkan," puji Mami sambil mencium sekilas pipi anak buahnya itu.

"Kalau begitu besok malam kumpulkan anak-anakmu kita akan mengadakan rapat."

Mendengar kata anak-anak mimik wajah Bunda Pluto berubah. "Mi, emangnya harus banget ya setelah permainan itu anak-anakku mati?"

Mami mengangguk samar. "Tugas mereka sudah selesai, kecuali Tika."

"Ta-tapi mungkin kita bisa memperpanjang masa hidup mereka."

"Tak ada yang abadi di dunia ini Pluto," pungkas Mami sambil pergi meninggalkan Bunda Pluto yang sedang menatap nama-nama anak angkatnya sendu.

"Andai Bunda orang biasa, kita mungkin akan hidup tenang, Nak."

*****


Genius | Misteri ✔Where stories live. Discover now