Seorang wanita terlihat sibuk menata pakaian ke dalam koper, mengabaikan suaminya yang terlihat uring-uringan akibat tingkah laku sang istri.
"Sayang, kamu yakin? Aku seminggu lho di sana."
Hanin menatap suaminya sambil mendesah kecil. Ini adalah topik yang selalu mereka bahas sejak dua hari lalu dan akan selalu berakhir dengan kalimat yang sama.
"Kita sudah bahas ini, Dev." Hanin meletakkan pakaian terakhir suaminya di dalam kopor. "Nggak perlu khawatir," lanjutnya.
"Gimana aku nggak khawatir? Kamu udah masuk bulan kesembilan, Sayang!" balas Devian yang hanya dijawab senyum oleh istrinya.
"Dev, kamu lupa apa kata dokter? Aku akan melahirkan dua minggu lagi."
"Tetap saja aku khawatir," ujar Devian sambil mengerang, tak tenang harus meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua. "Kamu bisa melahirkan sewaktu-waktu, Sayang. Prediksi dokter bisa berubah. Bagaimana jika kamu melahirkan dan aku nggak ada di sini?"
"Ya sudah," jawab Hanin ringan dan kembali mengatur barang-barang Devian yang lain. "Kamu bisa datang setelah adik si kembar lahir. Toh, tanpa kamu pun aku bisa melahirkan."
"Haninnn ...."
Devian mengacak rambutnya frustrasi. Wanita itu tidak peduli sama sekali tentang apa yang dirasakannya. Istrinya itu sangat tidak peka dan tingkah inilah yang selalu buat Devian sakit kepala. Pusing sendiri dengan segala kekhawatiran yang ia rasakan. Devian tidak mau membiarkan Hanin harus melahirkan seorang diri lagi. Tidak seperti apa yang terjadi di masa lalu.
Bukan perkara ia pergi kerja. Namun, masalahnya perjalanan bisnis kali ini ke Toronto, Kanada dan itu memakan waktu kurang lebih 20 jam. Dengan jarak ini, bagaimana bisa Devian baik-baik saja ketika mulai memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti.
Hingga hari keberangkatan tiba, Devian masih gelisah. Berbeda dengan Hanin yang melepas kepergian suaminya itu dengan senyum bahagia tanpa khawatir sama sekali.
"Zay, segera hubungi Ayah jika terjadi sesuatu," kata Devian sambil memegang kepala anaknya. "Paham, 'kan?"
"Paham, Ayah!" jawab Zayyan dengan gerakan siap.
Kini Devian beralih pada anaknya yang lain. "Ken, bantu Ayah mengawasi bunda, paham?"
"Paham, Ayah!" Ken menjawab dengan anggukan mantap.
Dengan itu, Devian melangkah memasuki mobil menuju bandara. Meninggalkan Hanin dan kedua anaknya yang mengantarnya dengan senyum lebar dan lambaian tangan.
●●●
"Nggak perlu khawatir."
Itu adalah ucapan Hanin sehari sebelum hari keberangkatannya. Dengan satu kalimat itu, Devian sudah berharap pada perjalanan kali ini semua benar baik-baik saja seperti yang dikatakan istrinya. Namun, baru saja dua hari Devian di Kanada, Javas sudah menghubunginya sebanyak 37 kali, Galen sebanyak 24 kali, dan Elena sebanyak 18 kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Home✓
RomanceCover by : Amanda Budiman ----- Ini bukan tentang romansa anak sekolahan. Bukan pula soal kisah cinta di bangku perkuliahan. Pun bukan tentang nikah paksa atau perjodohan. Ini tentang ketidaktahuan, pun juga tentang kesalahan yang membuat sebuah per...