TWELVE

66 6 0
                                    




Jesslyn

"Ya ampun.." Aku menghela nafas saat pintu ganda terbuka. Para pelayan berlarian, dengan panik membersihkan debu dan mengepel, memilah-milah buku dan memindahkan perabotan dengan hati-hati di sekitar lantai kayu yang gelap. Meskipun rumahnya sangat gelap, ini sangat modern dan indah. Belum pernah aku melihat rumah sebesar ini dan tampak menakjubkan. Bagaimana dia bisa membeli tempat ini?  Dari mana keluarga ini mendapatkan semua uang mereka?  Apakah Matheo mengatakan rumah ini hanya miliknya?  Atau milik dia dan orang lain?  Kami melangkah masuk dan pintu terbanting menutup di belakang kami, membuat beberapa pelayan melompat kaget. Ketika mereka semua memperhatikan siapa yang masuk, mereka segera kembali bekerja.

"Di mana kita?"  Aku bergumam saat Matheo mengantarku menyusuri lorong panjang melengkung dengan banyak pintu kaca.  Mengabaikan pertanyaanku, dia mengeluarkan ponselnya.

"Luca."  Dia berkata.

Aku tidak bisa mendengar suara Luca di ujung telepon, volumenya pasti sudah dikecilkan.  Tapi setelah beberapa menit Matheo terdiam saat kami berjalan menyusuri lorong ini yang sepertinya panjangnya lima mil....

"-Cepatlah."  Matheo mengakhiri percakapan singkat itu.

"Apa yang sedang terjadi?"  Aku mendapati diriku bertanya kepada Matheo, wajahnya berkerut menjadi ekspresi yang sangat tertekan, dia mengeluarkan energi yang sangat tegang ini.

Dia mengejek dan menatapku, "Apa? Aku duduk denganmu selama dua detik di ruang kerjaku dan sekarang kamu pikir kamu berhak mengajukan pertanyaan kepadaku?"  Nada suaranya kaku dan tajam.

Aku sedikit melompat ke belakang karena perubahan karakter yang tiba-tiba, apa masalahnya?  Apa dia memiliki Bipolar?  Yang aku lakukan hanyalah mengajukan pertanyaan sederhana karena dia terlihat stres.  Apakah dia tidak ingin ada orang yang menunjukkan bahwa mereka peduli dengan apa yang dia rasakan atau lakukan-...Ah, tentu saja dia tidak... Bagaimanapun juga, dia adalah bos mafia...

"Maaf.." gerutuku dalam hati.

Dia tidak menanggapi permintaan maafku atau menjelaskan apa pun saat saku mencoba mengikuti langkahnya yang panjang di lorong.  Sepertinya kami akan berputar-putar ke atas.  Ketika kami sampai di puncak apa yang aku suka menyebutnya, "Lorong tangga dari neraka", Aku sedikit berkeringat. Aku benar-benar harus kembali berolahraga. Aku belum ada beberapa bulan ... Ini agak sulit untukku. Nolan akan selalu menjadi mitra latihanku.  Kami hampir selalu pergi ke gym bersama atau kami hanya berolahraga di rumah.  Itu selalu merupakan latihan yang baik dengan Nolan.  Aku akan basah kuyup oleh keringat dan otot-otot ku sakit pada akhirnya.  Tapi begitulah aku tahu itu bagus.  Aku menyukai rasa sakit itu, artinya aku membuat kemajuan.  Aku benar-benar ingin kembali berolahraga, aku tahu Nolan ingin aku melakukannya... Hanya saja.- Tidak sama tanpa dia...

Aku mulai merasakan mata ku berair dan sebelum Matheo berbalik dan melihatku, aku berpura-pura seperti sedang menguap jadi aku punya semacam alasan mengapa mata ku berair.  Aku sudah menangis di depannya sekali hari ini, aku tidak perlu melakukannya lagi.  "Ayo."  Dia menggerutu sambil mendorong pintu kaca besar hingga terbuka.

"Mana Luca?"  Seorang pria yang tampaknya berusia sekitar 25 tahun, menanyai Matheo. Matheo mengabaikan pertanyaan pria itu dan melenggang ke sofa di belakang ruangan. Dia merosot di atasnya, mencabut sebatang rokok.

"Siapa dia?"  Seorang pria asing terdengar jijik. Aku merasa diriku kembali ke dalam dirikusendiri.  Ini memalukan, dan itu membuatku sedikit tidak percaya diri.  Seseorang berbicara tentangku seperti itu.  Aku bahkan tidak melihat ke arah pria itu, aku malah berdiri di pojok di sebelah Matheo, dengan kepala tertunduk.

"Bukan milikmu."  kata Matheo sambil menyalakan rokoknya.  Sementara para pria di ruangan itu menahan tawa mereka, aku mengintip ke arah Matheo untuk melihat ekspresi wajahnya.

SR. RAEKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang