TEN

82 6 0
                                    

________________________________________________________________

Matheo

"Apa maksudnya ketika dia bilang kau membunuh ibumu?" Suaranya lembut, tenang ... penuh keingintahuan. Kemarahan mulai berdenyut melalui pembuluh darahku, rahangku mengunci dan mengencangkan. Dia tidak punya hak, tidak ada hak untuk bertanya padaku sekarang, terutama tentang mia mamma.

"Istirahatlah." Aku menghembuskan nafas untuk mengendalikan diriku agar amarahku tidak meledak sekarang. Dia menggelengkan kepalanya, "Aku tidak lelah."

"Aku tidak peduli." Aku mencoba untuk terdengar ceria tetapi malah terdengar seperti orang marah.

Kebingungan tertulis di seluruh wajahnya saat dia memiringkan kepalanya ke samping sedikit dan menatapku, alisnya menyatu.

"Kenapa kau menembaknya?" Dia bertanya. Aku mengangkat alisku, kaget pada nada kuatnya, dan aku lihat dia terlihat semakin percaya diri. Aku mengangkat bahuku dan menyilangkan tanganku di dadaku, "Karena aku menginginkannya seperti itu."

"Tapi kenapa?" Dia menggelengkan kepalanya sedikit, dia tidak mengerti, aku tidak bisa memberitahunya. Terutama tentang masa laluku. Aku tidak ingin terjebak di dalamnya lagi, tetapi aku tidak bisa menarik diriku terutama akhir-akhir ini .. "Pria itu tidak pantas mati, bagaimana kalau dia punya istri ... anak-anak? Keluarga? Apa mereka tahu dia sudah mati?"

"Dia berbicara buruk tentang diriku." Aku berkata dengan santai, berjalan ke tempat api dan membuka pintu-pintu kaca. Aku mengambil korek api besar dan menyiapkan kayu untuk dibakar, di sini dingin dan para pelayan tidak menggunakan pemanas itu lagi, rumah ini sudah sangat tua.

"Jadi, kau membunuhnya ?!" Dia berteriak dengan suara yang terdengar melengking nyaring.

Aku menggosok batang korek api ke tambalan kasar di kotak. Puas dengan nyala api yang ada di batang korek lalu aku melemparkannya pada kayu yang sudah di siapkan. Ini akan menjadi api yang sangat bagus, dan itu bisa bertahan lama juga. Aku berbalik untuk menghadap Jesslyn yang masih terbungkus handuk, rambut basahnya menetes ke seprai sutra yang mahal. Dia mungkin akan membutuhkan lebih banyak selimut, salju seharusnya turun malam ini. Aku berjalan ke lemari di dekat jendela, aku membukanya dan membuka laci di bawah, aku mengeluarkan selimut hitam besar. Aku meletakkannya di tempat tidur di samping Jesslyn yang menatapku seolah-olah aku setan.

"Kau pikir, kau bisa berbicara buruk tentang dirimu atau keluargamu ?! Kau tidak punya hak untuk mengambil nyawa seseorang untuk alasan seperti itu! Kau tidak tahu dia, kau tidak tahu siapa dia atau orang macam apa dia Dia mungkin tidak bersalah!" Dia meludah.

Aku membiarkan dia berbicara, aku mendesah frustrasi. Dio Dannato..non ho tempo per questo. "Jesslyn.." Aku mengusap pelipisku, "Kau lelah, tidurlah."

Dia mengerang kesal dan menatapku dengan tatapan penuh kebencian, "Tidak! Aku sudah bilang aku tidak lelah!" Dia berdiri sekarang dengan handuk yang membungkus tubuhnya erat-erat dan menyelipkan dengan kuat ke tempatnya. "Kau tidak bisa melakukan itu pada seseorang karena kau-kau merasa terhina! Atau Karena mereka tidak menghormatimu! Itu tidak adil!"

"Aku tidak peduli apa itu adil!" aku berteriak pada Jesslyn. Matanya melebar kaget dan dia mundur selangkah. "Tidak ada kata adil di duniaku Jesslyn!"

"Dunia ini bukan milikimu seorang Matheo!" Aku berteriak kepadanya, "Kehidupan seseorang bukan untuk bisa kau ambil alih!"

"Itu PILIHANKU, pilihanku untuk menembak Figlio di Puttana! Aku akan melakukannya lagi dalam sekejap jika aku bisa! Saat seseorang menghinaku dan keluargaku, mereka akan menerima konsekuensinya ... sekarang itu adil." Dia tidak menahan amarahnya.

SR. RAEKENOù les histoires vivent. Découvrez maintenant