Dua puluh empat

211 37 5
                                    

"Fik, lo tadi ke mana?"

Fiki menatap bingung kakak sulungnya. Ia baru saja selesai mandi, saat keluar dari kamar mandi, ia mendapati Fajri yang duduk di ranjangnya. Tiba-tiba menanyakan hal yang sepele tapi sepertinya sangat penting.

"Emang kenapa?"

"Lo bisa ngak sih jawab aja langsung pertanyaan gue, lo tadi habis darimana?"

Fiki menyerengitkan wajahnya, semakin tak paham dengan Fajri yang bicara dengan nada emosi.

"Dari rumah Vian."

"Liar!"

"Kenapa gue harus bohong? Gue sama  club' musik tadi mulai latihan buat persiapan acara ulang tahun sekolah."

Fajri masih memberinya tatapan tajam, seolah-olah tak percaya Samma sekali dengan apa yang Fiki katakan.

"Emang kenapa, sih?"

"Setelah itu?"

"Ya setelah itu gue balik, kita selesai latihan hampir magrib, makanya gue baru pulang."

Fajri berdecak, mengusap wajah gusar. Ia yakin tadi penglihatan nya tak salah, ia yakin semua yang ia lihat tadi benar adanya. Fiki dan tuan Zavier Kaisar Alneeson, ayah mereka. Sungguh aneh jika Fiki mengatakan ia pergi latihan, tapi bisa saja adiknya berbohong.

"Lo kenapa sih, Bang? Aneh banget."

Fajri tak menanggapi, ia mengigit jarinya untuk berpikir keras, kenapa kehidupan nya sekarang penuh dengan teka-teki? Kenapa sekarang semuanya terasa semakin rumit?

"Fiki___eh Abang juga di sini?"

Kedua remaja itu menoleh dari sumber suara, Mamah Fira datang  menghampiri mereka. Wanita paruh baya itu melengkungkan senyum melihat dua anaknya itu.

"Kalian lagi ngapain, kok bengong gitu?"

Fajri bertukar pandang pada Fiki sebentar, memaksakan senyum kepada sang ibu."Ngak kok, Mah. Aji nungguin Fiki selesai mandi, mau ngajak turun bareng buat makan malam."

Mamah Fira membulat kan bibir, "Yaudah, yuk ke bawah, kita makan malam. Mamah mau ke kamar Soni dulu."

Fajri mengangguk, ia memejamkan mata kala ibunya mengusap wajahnya sebentar, begitupun Fiki. Keduanya beradu pandang lagi sebelum meninggalkan ruangan itu.

"Fik, jangan simpan rahasia apapun dari gue," bisik Fajri, meninggalkan keterpakuan di wajah Fiki.

~~~~~

Zweitson menutup pintu kamar, sempat membeku pada ganggang pintu itu, ia menyorot kotak di tangan kirinya. Seragam lengkap sudah terpakai di tubuhnya, hanya saja pagi ini ia merasa kembali bimbang.

"Lo ngapain?"

Zweitson tersentak oleh teguran Fajri, ia menggerakkan kepalanya ke samping, Fajri dengan dasi yang belum sempat tersimpul, mengamatinya heran.

Menjilat bibir bawahnya, pertanda ia merasa ragu untuk berbicara. Dengan sekali tarikan napas, Zweitson menghampiri Fajri. Ia mengulurkan kotak itu hingga membuat Fajri menatapnya bingung.

"Apa?"

"Buat lo."

"Dari siapa?"

"Buka aja, mungkin disisipin surat."

Fajri menerima kotak itu, ia menelisik nya. Ini kotak kedua setelah kotak yang ia temukan di meja, tapi kotak itu belum Fajri buka sama sekali. Ia mengendikkan bahu, membuka kembali pintu kamarnya, lalu menyimpan kotak itu di meja tak jauh dari pintu.

FATUM || ENDWhere stories live. Discover now