Lima puluh satu

171 32 3
                                    


"Ini alasan kenapa Mamah gak bolehkan kamu main biola. Lihat! Nilai kamu turun."

Ze duduk di sofa dengan tertunduk, bahkan setelah Sang Mamah melempar kertas ulangan tadi siang di depan wajahnya, angka 93 lah yang menjadi penyebabnya.

"Kalau gini terus, kapan kamu banggain Mamah? Kamu mau Papah kamu terus-terusan merendahkan kita, sementara dia sukses dengan memanfaatkan kehebatan Shandy?Kamu mau, ha?!" Riana mengetatkan rahangnya."Seharusnya waktu itu saya ambil hak asuh Shandy yang jauh lebih berguna dari anak bodoh seperti kamu."

Ze mengepalkan tangannya, dalam tundukkan nya, ia memejamkan mata, berusaha menahan sesak yang menumpuk di dadanya. Juga berusaha untuk tidak membalas ucapan sang ibu, karena ia tahu, berbicara sama saja meminta satu pukulan.

"Setelah ini, Mamah akan bicarakan sama guru les kamu, untuk menambahkan jam belajar kamu."

Kepalanya spontan terangkat, ia menggeleng membantah itu."14 jam belajar udah cukup buat aku, Mah."

"Tapi gak cukup buat otak kamu jadi pintar, sayang." Riana mendorong kepala Ze ke belakang dengan telunjuknya.

"Mah, aku capek,"lirih Ze, ia lelah dengan semua tekanan yang ibunya berikan.

Tangan Riana meraih dagu Ze, lalu mencengkram nya kuat. "Kamu bilang apa? Capek? Mamah lebih capek! Asal kamu tahu, Mamah ngelakuin semua ini juga untuk kamu. Kamu mau Abang kamu sukses dan terkenal sementara kamu jadi gembel? Mau?" Riana menggeleng, "Papah kamu suka lihat kita menderita, Ze."

Ze menggeleng lemah, ia meringis merasakan rahangnya dicengkeram semakin kuat. Semakin geram Mamahnya memikirkan itu, semakin Ze merasakan sakit di rahangnya. "Papah gak jahat, itu cuma karena Mamah yang terobsesi untuk kalahin Papah. Stop, Mah."

Riana kembali mengeram marah, melepaskan cengkraman nya. Ia memberi satu tamparan di pipi kiri anaknya. Tak peduli Ze yang menahan ringisan dan panas di pipinya.

"Mamah!!"

Riana menoleh ke asal suara yang menyerunya. Di sana Shandy, anak sulungnya.

Shandy berlari menghampiri Ze, meletakkan kresek di tangannya lalu membantu Ze berdiri, ia langsung memeluk sang adik. "Zeb, lo ke kamar sekarang." Shandy melihat ke sekitarnya, "Bi! Bibi!"

Seorang asisten rumah tangga berlari menghampiri mereka."Iya, Den Shandy?"

"Bawa Zebri ke kamar dan kompres pipinya."

Wanita itu mengangguk, segera ia menuntun Ze menuju kamarnya.

Sementara Shandy menghadap sang ibu, menatap kecewa wanita yang telah melahirkannya itu. Selama ini ia mendengar jika ibunya memang menekan Ze, tapi tidak dengan melakukan kekerasan fisik seperti ini.

"Mah, Mamah kenapa ngelakuin hal itu sama Zebri. Mamah tega nampar anak sendiri? Apa kesalahan Zebri sampai-sampai Mamah pakai kekerasan untuk nyelesain nya?"

"Kamu gak perlu ikut campur. Ini urusan Mamah sama Zebri, kamu gak tau apa-apa."

"Gak tau apa-apa?Ya, Shandy gak tau apa-apa. Tapi dengan sebatas Shandy tau, kalau adik Shandy di siksa sama Mamah, itu udah cukup buat Shandy salahin Mamah."

Riana memutar bola mata malas,"cukup urus Papah kamu, jangan ikut campur sama urusan Mamah." Setelah berucap, wanita itu berjalan menuju pintu utama bersama seorang asisten pribadinya.

Shandy mengacak rambutnya sendiri, segera ia mengambil kembali kresek berisi martabak kesukaan Ze. Ia berlari ke arah kamar adiknya.

Terlihat Bi Ani baru saja keluar dari kamar Ze.

FATUM || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang