Tiga puluh satu

206 40 3
                                    


Shandy merekahkan senyum kala adik perempuan nya berakhir duduk dan memasang safety belt walau dengan wajah yang mengkerut masam. Ia mengacak surai panjang milik Ze hingga gadis itu dibuat mendelik.

"Bang__"

"Iya-iya, tapi senyum dulu! Takutnya nanti jompo dini."

Ze mendengus,"Kenapa harus jemput gue sih? Kan bakalan balik lagi ke sekolah."

"Kalau ngak gue jemput, emang lo mau balik ke sekolah sama siapa? Tadi kan diantar."

"Bisa naik ojek. Gitu aja ribet."

Shandy mulai menjalankan mobilnya, meninggalkan wilayah SMA Rajawali dengan mobil putih miliknya. Ia terkekeh karena berhasil membuat Ze cemberut seperti itu.

"Emang salah ya kalau sekali-kali gue jemput lo? Kita udah hampir dua tahun ngak ketemu, makanya sekarang gue mau lepas kangen sama adek kesayangan gue ini."

Ze hanya menatap jalanan lurus, bukan tak mendengar perkataan kakaknya, tapi ada sesuatu yang membuat nya terpaksa tak membalas.

Shandy menghela napas panjang, "Abang udah izinin kamu tinggal sama Mamah lagi, seenggaknya kamu ngak lupa kalau masih punya sebagian keluarga lagi, Ze. Abang sayang sama kamu, Papah juga sayang___"

"Kalau sayang ngak mungkin dia rela misahin kita,"sela Ze cepat, rautnya tak terbaca, kecewa dalam hatinya jelas masih membekas.

"Bukan misahin, tapi Papah cuma ingin kamu yang jaga Mamah."

"Tapi Mamah ngak berharap gue ada! Mamah cuma nganggap gue sebagai boneka."

Shandy menepikan mobilnya, merasa bahaya jika berdebat saat ia mengemudi. Ia menghadap Ze sepenuhnya. Meraih tangan adiknya itu dengan lembut.

"Dengerin Abang, dari kecil, kita diberi kasih sayang sama Mamah dan Papah, mereka tulus sayang sama kita. Perpecahan keluarga ini cuma karena masalah kecil, jadi orang tua kita ngak mungkin membenci kita, yakin sama Abang."

Ze masih bertahan dengan wajahnya yang tak menarik garis sedikitpun. Apapun yang Shandy katakan memang benar, tapi realita berlaku sebaliknya.

"Abang ngak tau apa-apa."

Shandy menggulung sedikit lengan jaket Ze, memperlihatkan pergelangan tangan yang terdapat beberapa bekas luka yang sedang mengering.

"Abang tau kenapa luka ini, Mamah emang udah ngelewatin batas, makannya Abang ingin kamu tinggal bareng Abang sama Papah juga. Tapi kalau kamu milih tetap tinggal sama Mamah, itu berarti kamu yakin kalau Mamah juga masih sayang. Abang cuma minta kamu tetap bertahan, kalau ada apa-apa langsung ngomong sama Abang."

Ze menarik tangannya, menutup kembali lengan jaketnya. Tiba-tiba, dering ponsel membuat keduanya melerai perdebatan, Ze menjawab panggilan yang ada di ponselnya.

"Kenapa, Mah?"

"Kamu sudah ke SMA Rajawali?"

"Heum, udah, ini juga mau balik lagi ke sekolah."

"Kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan?"

Ze menghela napas, ia menipiskan bibir, "Yeah, I know. Tadi aku udah ketemu sama Pak Teguh."

"Bagus, tapi kamu ingat, ini untuk terakhir kalinya, kalau nanti kamu ngelunjak buat memainkan itu lagi, Mamah ngak segan-segan buat beri kamu hukuman."

Ze menoleh pada Shandy yang terlihat penasaran dengan apa yang ibu mereka katakan, Ia membalas ucapan ibunya lagi, "O-oke."

"Setelah pulang sekolah, kamu bisa langsung ke tempat les biola tapi hanya dua jam, setelah itu langsung ke tempat les privat kamu."

FATUM || ENDWhere stories live. Discover now