Dua puluh delapan

218 41 0
                                    

Zweitson lagi-lagi dibuat pusing oleh Fiki, sedari ia memasuki ruangan itu, Fiki memintanya untuk membujuk Fajri agar mengizinkannya pulang. Alasan Fiki memang Zweitson setujui, tapi jika Fajri bersikeras mau bagaimana lagi? Sebagai adik yang memiliki rentang umur sepuluh menit, Zweitson hanya bisa menurut.

Ia lalu mengintip jam, sudah hampir jam enam sore. Jika saja ibunya saat ini memiliki ponsel, mungkin sudah ada ribuan panggilan yang datang di ponsel mereka. Semenjak keluar dari rumah sakit, memang Mamah Fira dilarang untuk menggunakan ponsel untuk sementara, Tante Diva yang memintanya, takutnya nanti akan ada hal yang menyebabkan Mamah Fira sewaktu-waktu kembali depresi.

"Son, kata dokter juga gue ngak papa, Bang Aji aja yang berlebihan."

Zweitson menghela napas, Fiki kembali merengek. "Yaudah, lo ngomong sama Aji."

"Ngak dibolehin."

"Yaudah, nurut."

Fiki berdecak, "Bilang aja lo takut sama Bang Aji," Fiki mengejeknya, selama ini Zweitson selalu menurut apa yang Fajri katakan, kecuali ketika Fajri yang mulai berulah, maka Zweitson yang akan menyelesaikan.

"Emang lo berani ngelawan dia?"

"Ya, enggak, tapi kalau dalam keadaan gini, mau ngak mau kita harus pulang. Gue yakin Mamah pasti khawatir, apalagi gue sama Bang Aji belum ada yang sampai ke rumah. Gue takut kecemasan berlebihan Mamah kumat lagi."

"Trus lo mau jawab apa kalau Mamah liat luka-luka lo yang ini?" Dengan santainya Zweitson menusuk pipi Fiki yang membiru itu hingga membuat anak itu meringis keras.

"Sakit, Son!"

"Makanya, lain kali kalau ada yang ngebuli atau main keroyok kayak gini, lo lawan balik!" Zweitson terkekeh kala Fiki tersenyum kecut, ia tahu, bagaimana pun Fiki melawan, yang namanya keroyokan tetap takkan seimbang.

"Mereka juga udah babak belur kok gue buat, cuma ya lagi ngak hoki aja."

Zweitson memberi tonjokan lagi pada pipi tembam Fiki namun pelan, tapi tetap saja Fiki lagi-lagi meringis, lelaki berkacamata itu malah tertawa, "Hoki ngak hoki, kalau kalah mah kalah aja."

"Sekali lagi pegang pipi gue, lo yang gue tonjok,"ancam Fiki, menggeser tubuhnya untuk sedikit lebih jauh dari Zweitson.

Zweitson mengulas senyum, selintas memori tiba-tiba muncul dipikirannya, "Waktu kecil, kita suka main tonjok-tonjokan juga, Fik. Lo sering nangis karena Aji yang kadang nonjok lo beneran, akhirnya gue sama Aji dihukum Papah."

Fiki ikut teringat kenangan itu, ia juga tak lupa ketika papah yang dulu sering menjadi pahlawan untuknya, menjadi pembela disaat pertengkaran kecil terjadi diantara kakak beradik itu.

"Papah suka ngebela lo dan Mamah kadang juga banggain Aji, gue sebagai anak tengah cuma bisa netral." Zweitson terkekeh lirih, masa lalu itu tak semuanya buruk, tapi juga tak semuanya indah. Sebagai anak, ego untuk disayangi lebih itu sering kali memenuhi jiwanya, tapi tetap saja, Zweitson yakin kasih sayang kedua orang tua mereka sama rata.

"Papah bukannya suka belain gue, tapi cuma sekedar ngejauhin kita dari pertengkaran, justru Papah itu Suka banggain kalian. Kembar yang selalu saling melengkapi, gue pernah diminta buat bisa jadi kayak kalian."

Keduanya terbawa pada kenangan masa lalu, saling mengungkapkan apa yang dulu mereka rasakan. Sebab mereka hanya bisa mengingat lalu menceritakan nya kembali tanpa bisa mengulang.

"Kata Papah, Bang Aji itu keren, bisa main basket, larinya kenceng. Belum lagi lo yang pinter, jago gambar dan bisa nyanyi. Terus, akhirnya Papah ngajarin gue piano untuk pertama kali, dari situ gue tau apa yang bisa gue lakuin dan paham apa yang gue mau."

FATUM || ENDWhere stories live. Discover now