Dua puluh tujuh

197 40 4
                                    

Zweitson mengerutkan dahi melihat ruang tamu rumahnya ramai, hal itu cukup asing baginya, sebab rumah ini terbiasa akan sepi. Mengambil langkah lebar ke ruangan itu, Zweitson menghampiri ibunya yang sedang mengobrol dengan beberapa remaja itu.

"Mah."

Mamah Fira menoleh pada Zweitson, ia mengulas senyum. Beberapa orang yang Zweitson kenal sebagai teman sekelas Fajri itupun ikut menoleh.

"Fajri nya mana?"

"Kayaknya masih di jalan sih, Son. Tadinya di belakang kita," jawab Bella diakhiri cengiran, demi apa? Mantan ketua OSIS SMA Rajawali itu makin berdamage walau dengan menggunakan kaos hitam itu.

Zweitson mengangguk, mendudukkan diri di sebelah Aldi dan menyapa lelaki itu yang sedari tadi hanya diam di tengah obrolan para wanita.

"Mamah lo udah sehat, ya, Son?" tanya Aldi pelan, Zweitson mengangguk pelan sebagai respon.

"Rumor yang disebarin Gavin kayaknya keterlaluan, buktinya mamah lo sekarang kelihatan sehat dan bahagia. Tapi untung beritanya bisa reda gitu aja. Apalagi postingan itu juga hilang."

Zweitson juga tidak tahu apa yang terjadi, perihal postingan itu yang tiba-tiba dihapus, lalu berita itu tak lagi pernah dibahas.

"Tante, Tante punya anak perempuan?"

"Tante punyanya tiga anak bujang, ngak ada anak perempuan," kata Mamah Fira, ia tersenyum melihat dua gadis itu.

"Wah, kebetulan banget, daftar jadi calon mantu boleh, ngak?"

Hana menyenggol lengan Bella, temannya itu mulai bertingkah genit, bukan tak tahu jika Bella sempat menjadi pengagum Zweitson secara diam-diam.

"Jangan mau, Tan. Bella ngak bisa masak!"

Bella menatap sinis Aldi yang malah mengompori, "Fitnah banget lo sama gue! Lagian Mamahnya Zweitson mau nyari mantu, bukan pembantu, iya kan, Tan?"

Aldi mencibir, "Ya kali Tente mau nerima mantu beban dunia kayak lo." Mendengar cibiran Aldi, membuat Bella melototkan mata. Mamah Fira terkekeh pelan menyaksikan itu.

Mengabaikan mereka, atensi Zweitson teralih pada ponsel di tangannya. Fajri melakukan panggilan, ia berdiri dan melangkah untuk sedikit menjauhi keramaian, Zweitson langsung menjawab panggilan itu.

"Kenapa, Ji?"

"Aldi sama yang lain masih di rumah?"

Zweitson menoleh ke arah di mana teman sekelas Fajri masih asik dengan obrolan.

"Masih, lo di mana? Bukannya kalian mau kerja kelompok?"

"Gue di rumah sakit, lo bisa ke sini, ngak?"

"Rumah sakit? Ngapain?"

"Fiki, tadi dia gue temuin di ruang seni lama. Gue ngak tau apa yang terjadi tapi dia banyak dapat luka pukulan, keadaan nya cukup parah, gue yakin ini kerjaan Gavin sama temen-temennya."

Zweitson tercenung mendengar itu, "Tunggu, jadi Fiki dihajar sama Gavin?"

"Hmm."

"Kalau Gavin ngehajar Fiki, kemungkinan Gavin udah tau kalau Fiki adik kita. Ji, gue ngak tau apa masalah lo sama Gavin, tapi ini udah ngebahayain Fiki. Gavin orangnya nekat, dia bisa berbuat apa aja."

Zweitson tak paham dengan semua urusan Fajri, ia hanya mengikuti permainan kakak kembarnya itu. Selama ini hidupnya hanya dipenuhi oleh rutinitas sekolah, jadi perihal semua itu, Zweitson tak mengetahui nya. Fajri mengatakan untuk tidak membeberkan Fiki sebagai adik mereka pada saat masuk SMA, itu Zweitson anggap sebagai sebuah perlindungan biasa, tapi sepertinya Fajri telah melakukan kesalahan yang cukup fatal hingga membuat Gavin bertindak separah itu.

FATUM || ENDWhere stories live. Discover now