13. Tantangan Skala

3.4K 378 26
                                    


Please, don't be a silent reader.

Happy reading .....

Terlepas dari harus menerima jalan hidup
yang sudah Tuhan gariskan, kita juga
perlu waktu untuk mengikhlaskan.

— NOT YOU // BROTHERSHIP —

.

.

.

.

Pagi-pagi sekali entah mengapa tiba-tiba Angkasa mendapatkan telfon dari Bram—papanya yang menyuruhnya untuk datang ke sebuah restoran. Angkasa sebenarnya sedikit heran, pasalnya papanya itu tak biasa-biasanya mengajaknya sarapan di luar.

Seingatnya, selama 17 tahun hidupnya, papanya itu adalah seorang yang workaholic, jadi biasanya Bram tak punya waktu hanya untuk sekedar makan dengan anaknya di luar.

Tapi, hari ini mungkin jadi hari yang berbeda, dan tak pelak hal itu membuat Angkasa sedikit merasa senang. Entah perasaannya saja atau bukan, tapi memang selepas ia terbangun dari koma, kedua orang tuanya jadi lebih memperhatikannya.

Ya, sudah seharusnya sekarang Angkasa bersikap dewasa. Tak perlu lagi seperti dulu yang tak bisa menerima perpisahan kedua orang tuanya, sekarang Angkasa rasa, dengan mereka memberi perhatian kecil untuknya, itu sudah lebih dari cukup.

“Kamu udah rapi banget sayang, mau ke mana?” tanya Dita ketika melihat putranya sudah rapi, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan aktifitasnya menuangkan susu ke dalam gelas.

Angkasa berhenti melangkah di samping mamanya. “Aku ada janji sama Papa.”

“Tumben banget, Papa kamu ada waktu,” komentarnya.

Angkasa hanya menggidikkan bahunya acuh. “Udah ya, Ma. Angkasa berangkat sekalian mau sarapan di luar sama Papa.”

Dita menoleh ke samping, menatap putra bungsunya dengan intens. “Sayang, kalau nggak keberatan, gimana kalau kamu ajak Skala. Kasihan Skala udah seminggu nggak keluar rumah, pasti dia bosen banget.”

Sudah pasti Angkasa akan menolak mentah-mentah ide buruk mamanya itu. Namun, belum sempat ia bersuara, nyatanya sudah ada suara penuh semangat dari Skala yang lebih dulu terdengar.

“Ide bagus tuh, Ma. Emang Angkasa mau ke mana?”

Skala mendekat ke samping Angkasa. “Lo mau ke mana, Sa?” tanyanya lagi.

“Itu, Angkasa mau sarapan di luar. Kamu mau ikut nggak?” Dita yang lebih dulu menjawab ucapan putranya.

Bola mata jernih milik Skala berbinar, cowok itu memandang mamanya dan Angkasa bergantian. “Beneran, Sa?”

“Lo budeg? Udah jelas-jelas tadi Mama ngomong kaya gitu,” ketusnya.

“Angkasa, jangan ngomong kasar kaya gitu. Nggak sopan!” Dita menatap tajam Angkasa, sedangkan yang di tatap masih terlihat santai seperti tak mempunyai salah apa pun.

“Udah Ma, jangan natap kaya gitu, Skala jadi grogi,” ceplos Skala.

Sedang, Dita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Padahal, tadi tatapan tajamnya hanya tertuju pada Angkasa, tapi mengapa justru Skala yang protes akan hal itu? Sungguh ajaib.

“Jadi gimana, Sa? Gue boleh ikut, ‘kan?” Skala sangat berharap Angkasa berkata ‘iya’.

“Angkasa, Skala boleh ikut, ‘kan?” itu suara Dita, yang entah mengapa terdengar seperti tengah mengintimidasi di telinga Angkasa.

NOT YOU || BROTHERSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang