Please, don't be a silent reader.
Happy reading ....Salah satu ketakutan terbesarku adalah,
melihatmu tidak baik-baik saja.— Angkasa Calterion Bramanta —
.
.
.
.
Pagi ini Skala bangun dengan senyum sumringahnya. Semalam ia juga tertidur dengan nyenyak. Hingga membuat kedua orang tuanya terheran-heran dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajah Skala.
“Kamu kenapa dari tadi senyum-senyum terus, Papa jadi ngeri lihatnya,” ucap Diki sambil memandang wajah sang putra dengan tatapan herannya.
Sedang, Skala yang ditanyai begitu hanya menggeleng pelan sambil kembali menampilkan senyumannya. Ia masih teringat semua ucapan Angkasa semalam dan itu sungguh membuatnya senang.
Tahu jika Angkasa masih peduli dan khawatir padanya membuat Skala bersemangat lagi menjalani hari-harinya. Semalam, memang Angkasa tak tahu jika ia mendengar semua ucapan adiknya itu.
Skala juga tak berniat membuka matanya malam itu. Karena kalau Angkasa tahu ia mendengar semua perkataannya, adiknya itu pasti akan uring-uringan dan marah-marah lagi. Skala hanya mengantisipasi hal itu. Karena ia sangat tahu jika Angkasa punya gengsi yang dijunjung setinggi langit.
“Ma, anak kita kenapa, sih? Ngeri Papa lihatnya,” adu Diki pada istrinya.
Dita tertawa kecil, mendekat ke arah suaminya yang sedang duduk di samping ranjang yang Skala tempati. “Nggak papa, justru senyum itu bagus buat kesehatan.”
“Tapi nggak terus-terusan nyengir kaya gitu, ‘kan? Papa jadi was-was lihatnya.”
“Lagian Papa kenapa sih, aku diam salah, aku ketawa juga salah, aneh tahu nggak,” protes Skala.
“Ya ‘kan kamu memang aneh, nggak ada yang lucu di sini terus bangun tidur kamu tiba-tiba senyum-senyum sendiri kaya gitu.”
“Duh, Papa penasaran ya? Yang pasti Skala lagi bahagia banget hari ini. Eh, dari semalam sih.”
“Oh ya? cerita dong sama Mama. Biar Mama ketularan bahagianya anak Mama,” sahut Dita cepat.
Lagi, Skala meresponsnya dengan senyum-senyum tidak jelas. “Rahasia dong.”
“Gitu ya, sayang banget Mama pingin tahu padahal.”
Skala hendak membalas perkataan mamanya lagi, namun urung ketika mendengar ada seseorang yang sedang membuka pintu kamar rawatnya.
Ceklek
Semuanya terdiam dan menatap ke arah pintu yang kini menampilkan wajah Angkasa. Di tatap seperti itu pun membuat Angkasa mendengkus kesal. Ia kemudian masuk dan meletakkan satu tas pakaian ke atas sofa.
“Tadi nggak sengaja lihat tas ini di atas meja. Kayaknya Papa lupa bawa. Jadi Angkasa anterin ke sini,” jelas Angkasa.
Setelahnya ia hendak berbalik dan keluar dari sini. Namun dengan cepat Diki menahan pergerakan Angkasa. “Kamu mau ke mana? Di sini aja dulu, pasti capek ‘kan pagi-pagi bela-belain nganterin pakaiannya Skala. Lagian ini hari libur.”
“Tadi Papa lupa bawa itu. Makasih ya udah bawain ke sini,” sambungnya.
Tanpa dijelaskan pun Angkasa paham jika papanya berniat menahannya di sini. Angkasa merutuki dirinya sendiri kenapa ia harus sepeduli ini untuk mengantarkan pakaian Skala yang tertinggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT YOU || BROTHERSHIP
FanfictionSebelum tetes air hujan sempurna jatuh membasahi bumi, Angkasa pernah mendengar kalimat. "Hidup itu hanya soal menerima. Tak ubahnya seperti nadi yang masih ada, maka selama itu juga kita akan selalu bersama. Kecuali, Tuhan yang meminta." Pertemuan...