Please, don't be a silent reader.
Happy reading ....
.
.
.
Hidup itu adalah misteri, tak ubahnya seperti manusia yang hanya bisa berencana, tapi takdir yang menentukan segalanya. Seperti itulah hidup yang Skala rasakan. Jika bisa menentang takdir, Skala sangat ingin menyuarakan bahagia, bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Angkasa, adiknya.
Begitu banyak hal sedih yang Angkasa lewati, dan itu tak pelak juga membuat Skala ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Skala teramat tahu, jika kata bahagia yang sesungguhnya untuk Angkasa itu hanya bersama mendiang Benua.
Sosok baik hati yang baru Skala tahu kalau Benua lah yang juga telah menyelamatkan hidupnya. Secara sukarela memberikan jantungnya, yang secara tak langsung telah memberinya hidup baru yang lebih lama lagi.
Sejak dulu, Skala ingin mengetahui siapa sosok pendonor jantungnya. Ia sangat ingin berterima kasih pada sosok itu. Namun takdir selalu punya rencana yang tak terduga. Skala tak pernah menyangka jika orang baik itu adalah Benua, kakak Angkasa.
Sosok orang yang selama ini mati-matian Angkasa cari keberadaannya. Bohong jika Skala baik-baik saja setelah mengetahui kebenaran ini. Nyatanya, ia juga tak kalah terluka. Ia sangat tidak ingin hubungannya dengan Angkasa menjadi jauh kembali.
Namun setelah semua hal yang terjadi, mustahil jika hal itu tak terjadi. Dari semua hal yang ada di dunia, Skala hanya takut tidak bisa melihat senyum itu lagi. Senyum adiknya yang terlihat begitu menenangkan.
Skala lebih takut kehilangan senyum Angkasa, dari pada dirinya sendiri. Sudah Skala katakan bukan jika ia rela mengembalikan jantung ini seandainya Angkasa menginginkannya.
Di hidupnya sekarang, Angkasa sudah menguasai separuh dunianya. Dunia yang ingin Skala genggam tanpa melepaskan. Mungkin bagi orang lain ini terlihat berlebihan, namun bagi Skala, ia sungguh menjadikan Angkasa dunianya.
Skala tak lagi peduli dengan kata orang lain tentangnya yang begitu menyayangi Angkasa melebihi dirinya sendiri, padahal Angkasa hanya lah berlabel adik tirinya. Tapi sungguh, Skala sangat-sangat menyayangi adiknya.
Angkasa bagikan warna-warna indah di hidupnya yang serupa kanvas kosong. Angkasa menggoreskan begitu banyak warna hingga membuat Skala begitu terlena dengan itu semua.
Sejak mengenal Angkasa, Skala jadi mempunyai begitu banyak emosi yang tertinggal di hatinya. Anehnya, jika Angkasa sedang merasa sedih, Skala juga merasakannya. Begitu pun jika sedang bahagia.
Semuanya berjalan beriringan. Kecuali hari ini, Skala berjalan sendiri ke tempat di mana sosok itu beristirahat dengan—damai. Sampai di tempat yang ia tuju, Skala berjongkok, kemudian menaburkan bunga berwarna merah di sana.
“Apa kabar?” Skala membuka suaranya, meskipun ia tahu, tidak akan ada yang menjawab ucapannya. Yang ada hanya desir angin yang semakin kencang berembus.
“Sorry, baru mengunjungi rumah lo sekarang.”
Skala menarik napasnya panjang, menghilangkan sesak yang tiba-tiba menjerat dadanya. “Makasih.”
Menjeda ucapannya sejenak, Skala kembali berkata, “Mungkin gue kelihatan orang yang nggak tahu diri. Baru datang ke tempat ini sekarang. Harusnya udah dari dulu gue ke sini, dan bilang terima kasih sama lo.”
“Atas kebaikan hati lo, gue bisa hidup lebih lama lagi. Harusnya, hari itu adalah akhir hidup gue, tapi lo menyelamatkan hidup gue.”
Telapak tangan Skala bergerak menyentuh dadanya sendiri, ia tersenyum tipis menatap nisan marmer berwarna hitam itu. “Gue janji akan jaga jantung ini sebaik mungkin, Benua.”
YOU ARE READING
NOT YOU || BROTHERSHIP
FanfictionSebelum tetes air hujan sempurna jatuh membasahi bumi, Angkasa pernah mendengar kalimat. "Hidup itu hanya soal menerima. Tak ubahnya seperti nadi yang masih ada, maka selama itu juga kita akan selalu bersama. Kecuali, Tuhan yang meminta." Pertemuan...